Langsung ke konten utama

Krisis Politik dan Sepakbola Indonesia

Oleh : M. Vichi Fadhli*



Siapa yang tak kenal sepak bola? Barang kali setiap orang yang tidak menyukainya sekali pun masih menaruh perhatian yang besar terhadap sepak bola. Tidak hanya soal olahraga, sepak bola memberi nilai-nilai dan hakikat tersendiri yang tumbuh  dan menjalar di bumi ini. Kita tidak memandang manusia pada golongan-golongan tertentu. Karena kita sedang memasuki wilayah yang universal. Kita tidak mengenal usia, jenis kelamin, gaya hidup, tua-muda, kaya-miskin, karena ada bahasa persatuan yang sedang kita temui, ialah sepak bola.

Bahkan seorang filsuf besar liberal, seperti Albert Camus pun pernah berujar, “Dalam  hal keutamaan dan tanggung jawab akan tugas, saya belajar dan berhutang budi pada sepak bola”. Lalu, bagaimana bisa seorang pemikir absurd sekalipun merasa berhutang budi pada sepak bola? Jawabannya tentunya akan ditemukan ketika kita benar-benar memahami sepak bola dengan berbagai nilai yang terkandung di dalamnya.

Kita menyadari olahraga ini sebagai permainan yang mengundang hasrat tersendiri. Hasrat tentu saling beriringan dengan para penikmatnya. Mereka yang merasakan bisa saja pelatih, pemain, manajemen, dan praktisi olahraga. Tapi tidak hanya mereka, bahkan filsuf, penyair, politikus, serta grup-grup sosialita pun tidak luput menaruh simpati di dalamnya. Dari sana kita dapat melihat betapa besarnya animo masyarakat pada permainan ini. 

Mengapa pada akhirnya bola sangat digilai? Seperti yang pernah diungkapkan oleh Shindunata “Bola itu sederhana. Hanya sebentuk kulit bundar saja. Tetapi kesederhanaan itu tiba-tiba menyentakkan suatu hakikat. Tanpa bola, tidak ada keramaian pesta tahun ini; seperti halnya, jika tiada nasib, juga tiada ria kehidupan ini”.

Pernyataan tersebut setidaknya menyentil bagaimana kelanjutan nasib sepak bola di tanah Indonesia ini. Sudah kurang lebih empat bulan kita tidak menikmati sajian kedua kesebelasan di atas rumput nusantara. Setidaknya, kita telah berpuasa cukup lama dari hiburan rakyat yang paling digilai di Indonesia. Tirai tetap saja tidak terbuka, sedangkan jendela masih tertutup. Belum ada kepastian yang jelas tentang masa depan sepak bola di Indonesia.

Kisruh Sepak Bola Indonesia
Lonceng awal masalah ini ditandai persoalan antara PSSI yang tidak menghiraukan peringatan Kemenpora. Serangkaian ultimatum yang terwujud dalam SP1, SP2, sampai SP3 tetap tidak diindahkan oleh PSSI. Sehingga hal ini berakibat pada dibekukannya PSSI dari segala aktivitasnya. Pembekuan yang dilakukan Kementerian Pemuda dan Olahraga melalui suratnya bernomor 0137 tahun 2015 yang ditandatangani Menteri Imam Nahrawi dan dikeluarkan pada Sabtu (18/4/2015). Praktis hal ini juga berimbas pada ditutupnya seluruh kompetisi sepak bola Indonesia dan segala aktivitas yang di naungi oleh PSSI.

Kemenpora memberikan peringatan, karena PSSI tetap menyertakan 2 tim yang belum memenuhi syarat verifikasi dan legalitas dari Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) saat berlangsungnya kompetisi liga Indonesia / QNB League. Namun PSSI tetap melangkahi persyaratan karena desakan kompetisi yang sesegera mungkin harus dimulai. Selain itu, jika PSSI mencabut 2 tim tersebut dalam kompetisi akan mengacaukan sistem dan manajemen yang sudah diatur dalam kompetisi tersebut.

Di sisi lain, Menpora, Imam Nahrawi, mengatakan adanya “mafia” sepak bola yang menggerogoti internal PSSI. Dalih yang dikeluarkan oleh Menpora seakan-akan semakin mempertegas lubang hitam semua ada di tubuh PSSI. Hal ini yang diujarkannya berdampak pada merosotnya prestasi Timnas sepak bola Indonesia di kancah internasional. Tidak cukup sampai disana, sikap tegas Menpora seolah memberi kesan positif pada masyarakat di masa-masa awal pemerintahan baru Jokowi-JK Hal ini memberi kesan gebrakan cepat yang dilakukan oleh kabinet baru, namun yang kita rasakan gebrakan yang tak jelas arah dan berdampak signifikan pada kerugian sepak bola Indonesia.

Sampai pada perjalananya konflik ini melahirkan dualisme di tubuh elit yang berkuasa. Lagi-lagi kita tidak pernah habis-habisnya menikmati dagelan politik antar elit. Setelah berlalu KPK vs Polri, kini kita dihadapkan oleh drama baru PSSI vs Kemenpora. Dalam hal ini, masyarakat kembali digiring pada bingkai pergulatan antara keduanya. Tapi kita tidak pernah berpikir bahwa, para praktisi dan pelaku sepak bola di lapangan  sebenarnya sama-sama tidak mengindahkan salah satu di antara mereka yang sedang bertikai. Yang dipikirkan oleh pemain serta jutaan supporter hanyalah bagaimana bisa kembali merumput dan berteriak di lapangan.

Sudah semestinya kita cermat dalam memandang, dan menggantungkan pada siapa kita bersandar. Sesungguhnya konflik keduanya bukanlah seperti konflik dalam drama film antara sang aktor protagonist dan antagonis. Sangat berbeda. PSSI di dalamnya penuh borok dan kusam. Di dalamnya, banyak bersandar para pejabat yang mementingkan kepentingan pribadi dan golongannya hanya untuk lumbung uang yang bisa dihasilkan dalam Industri sepak bola, dalam istilah politiknya mereka ialah ‘Kapitalis Birokrat’. Seperti halnya dari serangkaian kasus korupsi yang pernah menerpa pengurus PSSI. Juga sempat terjadinya perpecahan dualisme dalam tubuh PSSI yang lebih memiliki muatan kepentingan di satu golongan  Sedangkan di sisi Kemenpora, kita tentu harus melihat, bukan berarti Menpora hadir bak pahlawan yang tanpa cela. Mereka jelas-jelas memanfaatkan situasi ini untuk mengambil jalan yang tentu tidak populis. Sasaran dari kebijakan yang dilakukan Kemenpora bukanlah terhadap PSSI semata. Tetapi sasaran kebijakannya melompat jauh terhadap seluruh lapisan masyarakat (pelaku sepakbola, pedagang. supporter, dll). 

Sedangkan, jika harus kita simak tanggapan dari Jokowi maupun Jusuf Kalla, mereka sama-sama tidak pernah serius menanggapi persoalan ini. Testimoni yang keluar tidak benar-benar memiliki iktikad dalam memajukan sepak bola. Penulis tidak memandang kedua lembaga (PSSI dan Kemenpora) ini steril dan membawa kemajuan. Tapi khususnya dalam kasus ini, seburuk-buruknya PSSI, Kemenpora tidak semestinya membekukan PSSI beserta seluruh aktivitas sepak bola di dalamnya. Melainkan, kompetisi tetap harus bergulir, namun PSSI tetap harus di evaluasi secara serius. Intervensi yang dilakukan oleh Negara pun tidak sepatutnya berlebihan dalam sepak bola. Hadirnya kemenpora dengan kebijakannya justru semakin memperkeruh kondisi.

Dampak Kebijakan
Dampak pembekuan PSSI oleh kemenpora, tentunya melahirkan dampak yang signifikan bagi para pelaku olaharaga si kulit bundar. Dari setiap klub sepak bola, beserta seluruh pelaku di dalamnya, seperti pelatih, pemain, staff, tim medis, tenaga ahli, hingga para pedagang atribut sepak bola mengalami kerugian yang sangat besar. 

Semakin kacaunya, karena kompetisi reguler ditutup, praktis mereka kehilangan lapangan pekerjaan sebagai sumber penghidupan mereka. Hal ini tidak berbeda dengan buruh yang mengalami PHK massal di pabrik-pabrik. Jika harus dihitung kerugian yang di dapat, ambil contoh dari pemain. Di ISL ada 18 klub, jika setiap klubnya ada 25 pemain, ditambah klub-klub yang berkecimpung di divisi utama, dan kompetisi amatir liga nusantara. Dapat dihitung lebih dari seribu pemain kehilangan lapangan pekerjaannya. Itu baru pemain, belum kalau kita hitung dengan pelatih, tim medis, dan tenaga ahli lainnya. Dampak secara ekonomi juga menerpa kaum miskin kota, khususnya para pedagang kecil yang juga menggantungkan penjualannya dari beragam atribut sepak bola. Para pedagang mengalami penurunan penghasilan yang cukup drastis.

Selain itu, dampaknya terhadap klub juga mengalami kerugian yang sangat besar. Mereka tak dapat lagi menggaji pemain, karena tidak ada pertandingan, dan tidak ada pemasukan yang dihasilkan dari penonton di stadion. Secara temporer, di bawah klub yang tidak produktif,  akan mematikan pula potensi anak-anak mulai dari usia dini dan remaja yang hidup di atas rerumputan. Karena secara kualitas tidak lagi teruji dalam wadah kompetisi reguler. Jika semua klub di Indonesia mengalami hal yang sama, tentunya akan membawa kemunduran yang sangat mendalam pada sepak bola Indonesia di lingkup Internasional.

Dampak buruk pun turut dirasakan dalam prestasi Timnas yang semakin merosot. Bahkan yang terbaru dalam ajang Sea Games 2015, di laga semifinal Timnas Indonesia dikalahkan secara telak oleh Thailand dengan skor 0-5. Sungguh ini merupakan tamparan yang keras bagi Indonesia.

Selain itu, dampak cukup besar juga dirasakan masyarakat. Kita telah kehilangan hiburan yang menarik dari dua pasang mata kita. Sepak bola adalah tradisi rakyat yang tidak lekang dimakan zaman. Ia menjadi alat persatuan rakyat. Seperti yang dikatakan oleh Ketua Viking (Suporter Persib), Heru Joko, “Bagi kami sepak bola bukan sekedar permainan. Bagi kami sepak bola juga alat silaturrahmi. Kami khawatir kalau sepak bola nilainya berkurang karena ada kebijakan pembekuan PSSI oleh Kemenpora”.

Sepak Bola dalam Tinjauan Ekonomi-Politik
Seperti halnya seni ataupun sastra, sepak bola merupakan refleksi sosio kultural suatu masyarakat. Kita bisa mengatakan bola merupakan satu seni tersendiri.  Seperti diungkapkan oleh Ludwiq Hariq bahwa “bola adalah seni yang dihasilkan oleh kaki, karena itu di dalamnya juga tersimpan berbagai inspirasi”. Maka, sesungguhnya tidaklah salah jika sepak bola bisa saja menghasilkan inspirasi bagi kita.

Sepak bola lahir sebagai anak zaman, dan dalam perkembangannya ia menjadi anak kandung dalam kapitalisme paling mutakhir, Secara substansial, sepak bola menjadi bagian integral dalam sistem sosial yang berkembang. Tidak mengherankan, terkadang suatu nilai dan makna dalam sepak bola tersendiri telah terkooptasi oleh komersialisasi. Sepak bola kerap menjadi barang komoditas, sedangkan media terus menyuguhkan tontonan secara global dan massif di tengah-tengah masyarakat.

Sebagai barang komoditas, para pengusaha tidak pernah lalai dalam melihat peluang. Sepak bola telah merekonstruksi kebudayaan masyarakat, dari yang sebelumnya masyarakat hanya sebagai penonton, kini telah bertransformasi ke masyarakat konsumen. Para pelaku industri olahraga tentunyaterus menerus memproduksi instrument-instrumen olahraga mulai dari ujung rambut, kepala, sampai ujung kaki. Perusahaan-perusahaan besar seperti Adidas, Nike, dan Puma sampai saat ini merajai pasar di dunia, khususnya dalam memproduksi sepatu. Prinsip pasarnya tentunya adalah monopoli. Asia adalah pangsa pasar paling strategis bagi para korporasi besar olahraga. Kepentingan mereka tentunya adalah penanaman kapital, mengambil bahan mentah untuk produk komoditi, tenaga kerja dengan upah murah, dan konsumen yang melimpah.

Jika ada sisi keuntungan secara ekonomi bagi segelintir golongan, tentunya akan mendorong pula kepentingan secara politik di dalam sepak bola. Ya….karena bola pun tidak bisa dipisahkan dari panggung politik. “Sepak bola itu seperti politik, karena juga memberikan simbol-simbol tentang siapa yang kuat dan berkuasa” (Shindunata: buku ketiga, hlm. 232).

Dari sini kita bisa kembali menarik kasus yang sedang terjadi di Indonesia. Konflik di antara kedua lembaga (PSSI dan Kemenpora), merupakan refleksi dari krisis politik di dalam negeri itu sendiri. Watak dari para kapitalis birokrat tentunya adalah kepentingan politik minoritas. Mereka bisa menciptakan klik-klik (kelompok-kelompok) baru sebagai lawan politik dan mengorbankan jutaan rakyat di dalam negeri. Penulis memandang bahwa kapitalis birokrat telah menggerogoti kedua lembaga tersebut. Sehingga, baik PSSI maupun Kemenpora tidak benar-benar dapat memajukan kualitas sepak bola Indonesia. Justru sepak bola dijadikan sebagai instrumen yang terinstitusionalisasikan ke dalam lapangan politik di eranya mereka. Setiap klub, pagelaran, dan pesta dijadikan simbol politik di bawah kontrol pemegang kuasa. Hal ini menjadikan sepak bola bukanlah lagi milik rakyat. Tapi milik para pemegang kuasa. Tidak hanya terjadi di Indonesia, di Spanyol, Shmuel Nili (2009, hlm. 3) dalam jurnalnya mengatakan:
In these circumstances football clubs have become a unique substitute for institutionalised political activity. Specifically, both Athletic Bilbao and Barca (established in 1901 and 1899, respectively) quickly became political institutions, paralleling the development of the Basque and Catalan national movements. Both clubs maintain their status as political symbols in the democratic era as well.

Jika di Indonesia letak kepentingannya ada pada siapa yang ingin memegang kontrol dan kewenangan dalam sepak bola. Di Spanyol memiliki perbedaan perspektif di antara dua klub Barca dan Athletic Bilbao, klub yang satu (Barca) menghendaki sepak bola dalam perkembangan globalisasi dan skema pasar, sedangkan klub yang satu lagi (Athletic Bilbao) mempertahankan konsep sepak bola dalam kerangka nasionalisme bagi masyarakat minoritas serta mengedepankan identitas nasional.

Di Eropa tentu kualitas sepak bolanya masih beberapa puluh langkah lebih maju di banding di Negara kita (Indonesia). Sehingga permasalahan yang dihadapinya pun memiliki tingkatan yang berbeda. Seperti di Spanyol, pertarungan persepsi terletak dalam mengkomparasikan konsep sepak bola seperti apa yang lebih baik di usung, di antara konsep globalisasi dan nasionalisme. Tentunya ini berujung pada politik itu sendiri.

Sedangkan di Indonesia, timbul pertanyaan, mengapa sampai saat ini kualitas olahraga khususnya sepak bola di Indonesia tidak pernah mengalami kemajuan?? Selain karena sistem politik yang kacau, Menurut penulis, Pertama ,dikarenakan belum majunya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) Olahraga di Indonesia. Kedua, belum terbangunnya industri nasional yang kuat di sektor olahraga. Ketiga, edukasi dan pembinaan olahraga yang belum dapat di akses secara luas oleh masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan.

IPTEK yang masih terbelakang dikarenakan oleh masih terbelakangnya Sistem Pendidikan Nasional yang ada di Indonesia. Khususnya pendidikan ilmiah tentang keolahragaan yang belum maju. Jika di Eropa, kedudukan Sport Science sudah begitu maju dan dijadikan sebagai panduan praktek olahraga nasional. 

Disamping itu, keterbelakangan sarana-prasarana sepak bola adalah wujud belum terbangunnya industri nasional yang kuat yang dapat memproduksi perangkat dan teknologi sepak bola mutakhir. Belum terbangunnya industri olahraga nasional ini merupakan cermin dari tidak berdaulatnya Negara secara ekonomi. Tidak hanya terkait banjirnya produk asing di pasar Indonesia, tetapi secara kepemilikan dan pengelolaan di dalam produksi alat-alat olahraga masih di dominasi oleh perusahaan besar asing. Bahan mentah yang kita punya justru di olah oleh asing, dan alat beratnya hanya dimiliki dan dikelola oleh asing. Sehingga rakyat bahkan pemerintah sekalipun, harus kembali membeli alat-alat sarana-prasarana hasil dari produksi Imperialis dengan harga yang mahal. Hal ini yang menyebabkan masih minim dan terbelakangnya sarana-prasarana olahraga yang dimiliki oleh Indonesia, hal ini turut berimplikasi pada mandegnya potensi-potensi rakyat dalam mengembangkan kualitasnya di lapangan sepak bola.

Di lain sisi, berikut ini dapat menggambarkan proses ekonomi yang terjadi di dalam klub, perusahaan, dan masyarakat. Adapun pola dan manajemen perusahaan (industri) yang dibangun oleh pasar untuk menciptakan keuntungan dan menerapkan komersialisasi sepakbola dapat terangkai dalam skema di bawah ini:




Sepak Bola haruslah Membebaskan Rakyat
Demikianlah sepak bola, ia menjadi refleksi dalam kehidupan masyarakatnya. Sesungguhnya ia tidak hanya menjadi cermin yang memantulkan wajah kita sendiri. Lebih dari itu, kita memaknai sepak bola di dalamnya sangatlah luas. Ia bagaikan simpul yang dapat melekatkan jejaring kehidupan yang kompleks. Kecintaan rakyat terhadap sepak bola wujud bahwa sepak bola tidak hanya merupakan permainan. Melainkan terdapat seni yang melibatkan perasaan, hasrat, estetika, dan filosofi hidup tersendiri. Cinta atas kebersamaan dan kolektivitas adalah salah satu wujud dari sepak bola itu sendiri.

Sepak bola bisa menjadi alat pembebas, tapi ia juga bisa dikerangkeng sebagai alat represi terhadap rakyatnya. Sesungguhnya, sebagai alat persatuan yang sangat dicintai, sepak bola merangkul manusia secara universal tidak peduli apakah dia pemain bintang atau kacangan, kaya atau miskin, hitam atau putih,  dan seterusnya. Karena sepak bola memandang manusia bermain atas dasar fairplay. Bermain sepak bola memang mengasumsikan kebebasan. Tapi kebebasan disini bukan berarti main-main, karena bermain yang penuh kebabasan adalah wujud ekspresi seseorang yang mencintai bola di bawah seperangkat aturan permainan dan norma yang berlaku. Kebebasan yang tetap memberi penghormatan terhadap hak orang lain, serta menghargai kawan dan lawan di dalam lapangan. Di dalamnya tentu membutuhkan intuisi, naluri, improvisasi, dan kreativitas.

Melihat itu semua, tidak seharusnya sepak bola Indonesia terus menerus diciderai secara politik oleh PSSI maupun Kemenpora. Langkah yang sepatutnya dilakukan adalah segera melaksanakan kompetisi sepak bola yang sudah lama terhenti. Tanpa harus membekukan PSSI, aktivitas sepak bola harus tetap berjalan secara professional. Sedangkan, intervensi negara tidak semestinya merusak wajah sepak bola Indonesia. Pemerintahan Jokowi-JK harus bertanggung jawab dalam hal ini. 

Akhir kata, mereka yang bermain bola tentunya harus bersatu pula, mencintai perubahan, dan kemajuan bangsanya. Merebut kemerdekaan yang belum tergapai. Seperti Frasa yang diungkapkan oleh Bob Marley, “Sepak bola adalah satu dunia tersendiri….Kemerdekaan! Sepak bola adalah kemerdekaan!”

My feet is my only carriage
And so I've got to push on through.
Oh, while I'm gone,
Everything's gonna be all right!
Everything's gonna be all right!

*M. Vichi Fadhli
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Kepelatihan Olahraga (PKO) UPI 2010



Sumber Pustaka

Media Relation. (2015). (Public Relation) Pembekuan PSSI oleh Kementrian Pemuda dan Olahraga.

Nili, S (2009). The Rules of the Game—Nationalism, Globalisation and Football in Spain:  Barça and Bilbao in a Comparative Perspective. London: Mortimer House, 37-41 Mortimer Street.

Salimi, M. dkk (2012). Cooperative marketing alliances for new products commercialization as an entrepreneurial strategy: An analytical-comparative study of football industry. Iran: African Journal of Business Management Vol. 6(13), pp. 4734-4741

Setiawan, C (2004). Menemukan Kembali “Manusia” bersama Sepak Bola. 

Sindhunata, Dr (2002). Bola di Balik Bulan. Jakarta : Kompas.

Sindhunata, Dr (2002). Bola-bola Nasib. Jakarta: Kompas.



Komentar

  1. BISA DEPOSIT via OVO

    CemePoker ialah perutusan Poker Online, Domino, Ceme, dan Capsa yg menyediakan beraneka ragam banyak game dengan 1 user ID saja dan cemepoker di anugerahkan juga sebagai agen judi poker dgn rating win tertinggi.
    cemepoker menjamin 100% keamanan sekitar membernya juga pemain Poker awak dipastikan 100% Player VS Player.
    jangan sampai teledor nantikan sagu hati merenggut setiap bulannya dan bonus referal seusia hidup

    https://www.pokerceme.info/daftar-poker-online-deposit-via-ovo/

    Ayo gabung hari ini di cemepoker ---> http://104.248.153.37/

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tiktok Shop vs Pasar Konvensional

Oleh : Moch Vichi Fadhli R. S.Pd., M.M.   Pasar Tanah Abang dan beberapa toko pakaian tradisional mulai sepi. Banyak para pedagang gulung tikar dan merasa dirugikan karena kehadiran platform social-commerce dan perang harga yang tidak sesuai dengan logika pasar. Lalu, pemerintah tengah ramai ditekan agar membuat kebijakan khusus untuk menutup platform Tiktok sebagai media ekonomi yang menghancurkan UMKM tradisional. Fenomena ini sebenarnya terjadi karena adanya gap antara attitude dan behavior , Carrington (2016) pernah meneliti persoalan ini secara kritis. Krisis ini terjadi ketika pasar sendiri yang menciptakan gap di antara pilihan cara berkonsumsi secara individualis dan ketersediaan pasar secara sistemik. Hal yang mendasari tersebut adalah bagian dari kontradiksi kapitalisme yang tidak pernah bisa berhenti menciptakan hasrat tak terpuaskan dan ekses konsumsi. Dari pernyataan ini muncul ketidaksesuaian antara hasrat dan perbuatan. Ketidaksiapan masyarakat dalam mengkonsumsi m

5 Kunci Rahasia Meningkatkan Omset Penjualan bagi Sales Kanvas

  Sejauh ini, banyak sales yang masih terkendala oleh hasil penjualannya karena tidak mencapai target.   Kalau di daerah yang kita kerjakan sama sekali mengalami fase stuck dan tidak berkembang. Maka kita harus cek atau periksa hal apa yang bikin hasil dari penjualan kita stagnan. Kalau kita sudah tau masalahnya, lalu kita bisa menciptakan solusi tersebut dari masalah yang kita miliki. Jika pencapaian omset diukur dari minggu ke minggu, Berikut ini kunci rahasia   omset penjualan agar meningkat :   1.  Bekerja berbasiskan data Banyak dari kita atau sebagai sales yang meremehkan data. Padahal data adalah faktor kunci kita dalam bekerja. Sayangnya banyak di antara kita yang berfokus pada aktivitas lapangan tapi lemah dalam soal data. Dapat dikatakan bekerja terkait data erat kaitannya dengan tim administrasi atau supervisor, karena hanya mereka yang memiliki keleluasaan dalam mengakses data. Padahal bagi seorang sales, jika bekerja berdasarkan data maka seorang sales di lapangan da

Skema Pemberangusan Demokrasi Kampus

Menyikapi Peraturan Disiplin Mahasiswa UPI 2013 Oleh : Moch. Vichi Fadhli R             Pemuda dan mahasiswa semakin dihadapkan pada ketidakpastian arah dan cenderung terjerambab dalam jurang semu dunia pendidikan kekinian. Hal ini semakin tampak, dalam melihati situasi nasional yang begitu bergejolak, dengan upaya liberalisasi di tubuh pendidikan yang pada akhirnya berimbas pada melonjaknya biaya pendidikan, komersialisasi pendidikan, hilangnya akses rakyat untuk mengenyam Pendidikan Tinggi (PT), juga diskriminasi terhadap rakyat dalam mengakes bangku pendidikan.             Dalam hal ini tentunya secara alamiah akan menumbuhkan gejolak protes masyarakat lewat berbagai aksi karena abainya pemerintah dalam melakukan pencerdasan terhadap seluruh rakyat Indonesia. Khususnya pemuda dan mahasiswa sebagai warga kampus yang turut secara langsung merasakan mahalnya harga kuliah sehingga akan timbul secara sendirinya gejolak massa dalam berekspresi, juga berpendapat dalam berbagai