Menyikapi
Peraturan Disiplin Mahasiswa UPI 2013
Oleh :
Moch. Vichi Fadhli R
Pemuda
dan mahasiswa semakin dihadapkan pada ketidakpastian arah dan cenderung
terjerambab dalam jurang semu dunia pendidikan kekinian. Hal ini semakin
tampak, dalam melihati situasi nasional yang begitu bergejolak, dengan upaya
liberalisasi di tubuh pendidikan yang pada akhirnya berimbas pada melonjaknya
biaya pendidikan, komersialisasi pendidikan, hilangnya akses rakyat untuk
mengenyam Pendidikan Tinggi (PT), juga diskriminasi terhadap rakyat dalam mengakes
bangku pendidikan.
Dalam
hal ini tentunya secara alamiah akan menumbuhkan gejolak protes masyarakat
lewat berbagai aksi karena abainya pemerintah dalam melakukan pencerdasan
terhadap seluruh rakyat Indonesia. Khususnya pemuda dan mahasiswa sebagai warga
kampus yang turut secara langsung merasakan mahalnya harga kuliah sehingga akan
timbul secara sendirinya gejolak massa dalam berekspresi, juga berpendapat
dalam berbagai varian juga lewat beberapa instrumen. Dalam hal inilah,
khususnya kampus UPI (Birokrat) sebagai mesin pelanggeng politik kapitalis
birokrat berupaya melihat hal ini sebagai ancaman yang dapat mengganggu
stabilitas dan keamanan golongannya dengan melakukan berbagai upaya guna
meredam gejolak massa. Hal yang kongkritnya yaitu dengan menelurkan berbagai
paket kebijakan dan regulasi di dalam kampus terutama untuk mahasiswa. Salah
satunya adalah peraturan disiplin mahasiswa UPI 2013.
Dalam
peratutan tersebut sangat tampak bahwa mahasiswa seolah-olah diposisikan
sebagai robot yang diintervensi kuat kedudukannya oleh pihak birokrat. Ini juga
bisa dilihat sebagai otoritarian gaya baru yang dilanggengkan oleh birokrat.
Sampai tindak, tutur kata, sikap, seolah sudah harus diseragamkan dalam satu
kerangka etika moralistik yang suatu saat ini bisa disetir dalam upaya
melegitimasi kedudukan rektorat dalam membuat kebijakan-kebijakan yang
menindas. Hal tersebut bisa dilihat di pasal 5 dan pasal 6. Ketika membaca
sekilas begitu tampak manis, tapi sebenarnya didalamnya sudah menghilangkan
esensi manusia itu sendiri sebagai makhluk yang ada dengan keunikan pemikiran,
ide, gagasan,style, juga karakteristik
individu dalam bertindak dan bertutur, yang ini merupakan poin yang tercantum
dalam Hak Asasi Manusia (HAM).
Pada
pasal 7 juga bermakna bias dan tidak jelas, setiap mahasiswa yang ingin
berkegiatan wajib mendapat izin kegiatan dari unit terkait. Dalam hal ini
kampus bisa saja secara sewenang-wenang menganggap segala aktivitas yang
dilakukan mahasiswa yang tidak mengantongi izin kegiatan adalah ilegal.
Pertanyaannya kegiatan seperti apa?
Selain
mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi, dalam proses pembelajaran pun
peran mahasiswa cenderung inferior dan dijadikan sebagai objek. Disini peran
dosen diangkat lebih dominan dalam memberi arahan proses pembelajaran dan
kebijakan, mahasiswa cenderung diposisikan sebagai penonton yang diberi
kapasitas terbatas dalam mengajukan kebijakan dan pendapatnya. Padahal
sejatinya proses pendidikan yang memanusiakan manusia menurut Paulo Freire,
yaitu dengan melibatkan pendidik dan peserta didik sebagai subjek yang mampu
mengembangkan dirinya sendiri dalam melihat realitas (sebagai objek), sehingga
peran antara pendidik dan peserta didik berjalan dengan dialektis untuk mampu
mengembangkan manusia dalam misi pembebasan atas dirinya dan manusia.
Dari
serangkaian pasal yang tidak berpihak pada mahasiswa, yang paling krusial
adalah bagian kedua tentang “larangan”. Terutama di pasal 15, disana
dicantumkan secara kongkrit beragam aturan anti demokrasi yang secara langsung
maupun tidak langsung akan memerosotkan kualitas ide dan sikap kritis mahasiswa
dalam menanggapi beragam persoalan. Birokrat kampus telah bermetamorfosa
sebagai golongan yang anti kritik. Upayanya yaitu dengan pelarangan berbagai
kegiatan, baik itu penyampaian pendapat, aspirasi, dan ekspresi dengan membawa
atribut organisasi ekstra kampus. Hal ini tidak lain sebagai upaya memecah
belah kekuatan dalam perjuangan di antara mahasiswa. Melalui upaya
pen-dikotomian sehingga dapat melemahkan jalinan erat di antara sesama
mahasiswa itu sendiri.
Pada
intinya peraturan yang dibuat oleh UPI kali ini mengancam Hak Asasi Manusia
(HAM), terutama dalam Hak Sipil Politik (Sipol) dan Hak Ekonomi, sosial, budaya
(Ekosob) yang telah dijamin kedudukannya dalam konvensi HAM Internasional.
Untuk selebihnya, mari kita diskusikan lebih
lanjut terkait persoalan yang dihadapi oleh kita saat ini.
Salam Demokrasi !!
*Disampaikan pada Diskusi Selasaan UKSK UPI, 25 Juni 2013
**Penulis bergiatsebagai staff Departemen Jaringan UKSK,
staff bidang Sosial-Politik HMJ Kepelatihan, dan Koordinator Front Mahasiswa
Nasional (FMN) UPI
Komentar
Posting Komentar