Babak
baru Indonesia ditandai dengan naiknya Jokowi sebagai presiden Republik
Indonesia menggantikan Susilo Bamnbang Yudhoyono. Kemenangan Jokowi pada tampuk
kekuasaan tertinggi dilahirkan dari gesekan pemilu yang paling keras sepanjang
sejarah. Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya yang menghadirkan banyak nama
pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Pemilu kali ini hanya ada 2
pasangan yang melenggang dalam percaturan politik nasional. Prabowo Subianto
menggandeng Hatta Rajasa sebagai pasangan yang melawan kubu Jokowi-Jusuf Kalla.
Konon,
pertarungan politik pemilu 2014 menjadi pertarungan yang paling menguras
perhatian seluruh masyarakat. Lawan yang paling serius diantara keduanya
terletak di antara sentiment sesama klas reaksi, yang terpolarisasi ke dalam 2
klik. Klik pertama tentunya yang menamai diri Koalisi Merah Putih yang mewakili
Prabowo, Hatta, Amien Rais, Aburizal Bakrie, dan lain-lain. Sedangkan Klik
kedua adalah koalisi yang dibangun dalam kubu Jokowi, Jusuf Kalla, Megawati,
Surya Paloh, dan lain-lain. Sesungguhnya 2 klik ini lahir sama-sama dari klas
reaksi, yang tetap memiliki basis historis dalam sejarah politik tradisional
Indonesia. Dalam melihat pertikaian diantara 2 klik ini, sebenarnya bukan
berlandaskan atas kontradiksi ideologis, baik berupa visi, misi, program, dan kepentingan.
Tidak ada perbedaan substansi yang mencolok bila berbicara pertarungan 2
koalisi ini di ranah ideologi dan garis umum tujuan kenegaraan. Tapi pertikaian
di antara kedua klik ini lebih dibangun atas dasar ambisi pribadi-pribadi untuk
duduk di kursi kekuasaan, yang dimanifestasikan lewat koalisi-koalisi.
Perpecahan
politik di antara sesama klas reaksi tentunya biasa terjadi dalam panggung
politik dalam negeri. Ketegangan demi ketegangan yang terjadi sebenarnya
hanyalah pertikaian di tataran elit partai. Namun istimewanya, mereka mampu
memobilisasi masyarakat untuk ikut terhanyut dalam perdebatan para elit. Secara
gamblang, beberapa elemen masyarakat terkotak-kotakan bahkan sampai adu jotos
dari berbagai ruang.
Peristiwa
ini menjadi cambuk bagi rakyat bahwa momentum pemilu ini sebenarnya tidak
menghasilkan apa-apa untuk rakyat, namun keberhasilan partai-partai dalam
menggiring massa dan menanamkan loyalitas massa untuk partai telah memberikan
devosi politik yang kuat di tubuh massa. Berbagai intrik di berbagai bidang
tidak hanya dijalankan oleh mesin-mesin partai dan koalisi, tapi masyarakat
yang sebenarnya terpisah dari partai dan koalisi juga turut meramaikan intrik
sehingga menciptakan friksi yang akut.
Sampai
ada satu harapan pada sebagian rakyat, agar Pemilu kali itu harus sesegera
mungkin disudahi. Karena imbasnya sangat dalam menyulut energi, emosi, mental,
dan seluruh pikiran massa dalam kondisi rakyat yang sebenarnya masih didera
berbagai persoalan serius yang belum teratasi oleh Negara. Sampai tiba pada
hasil bahwa Jokowi ditetapkan sebagai Presiden Baru Indonesia, gaung perlawanan
tetap tiada henti diciptakan oleh klik Prabowo dengan Koalisi Merah Putih-nya.
Pelajaran
yang dapat diambil oleh rakyat, segala situasi politik yang terjadi di dalam
negeri tentunya harus dicermati secara jeli dalam perspektif klas dan orientasi
politiknya. Memang, kedua pasangan tentunya sama-sama tidak akan menciptakan
perubahan yang fundamental. Karena mereka lahir dan muncul dalam rahim
kapitalis birokrat, yang juga di dalamnya berdampingan bersama komprador dan
klas-klas feodal di dalam negeri. Tapi di antara kedua pasangan tersebut ada
yang memiliki daya reaksi yang lebih keras terhadap rakyat. Koalisi
Prabowo-Hatta menjadi cerminan yang sangat keras bagi gerakan rakyat di
Indonesia. Jika ditinjau secara historis, militer tidak akan pernah terdamaikan
dengan gerakan rakyat. Tugas dan fungsi militer tentuya sebagai alat pemaksa untuk
dijalankannya segala kebijakan-dan peraturan Negara dan memukul mundur segala
upaya pihak-pihak yang mengganggu stabilitas Negara. Peran inilah yang
dimainkan oleh militer, dan sebenarnya kepentingannya berada di bawah pengaruh
Kapital (modal) Internasional serta kelas-kelas yang berkuasa di dalam negeri.
Terlebih lagi, Amerika Serikat kian memperkencang hubungan di bidang pertahanan
dengan memasukan skema global Counter
Insurgency (COIN). Ini adalah Sebagai upaya memperkuat peran militer dengan
beberapa Negara yang dibangun dalam kedok melawan terorisme.
Namun,
hal ini bukannya tidak terjadi pada kubu Jokowi-JK. Beberapa kalangan militer
pun terkonsolidasikan di tubuh Koalisi Indonesia Hebat (Jokowi-JK). Dan mereka
akan menjadi pemantik api dalam gesekan yang tajam di tengah-tengah rakyat.
Segala upaya untuk memaksakan kehendak politik Negara, namun yang sangat
bertolak belakang dengan kepentingan rakyat akan bermuara pada fasisme. Baik
itu fasisme secara tertutup, bahkan sampai kadar yang lebih tinggi lagi yaitu
secara terbuka. Oleh karenanya, setiap perlawanan rakyat haruslah diarahkan
kepada sasaran yang spesifik (sesuai dengan dialektika periode/momentum).
Ketika memang Prabowo-Hatta tampil sebagai pemenang dalam pertarungan Pilpres
kemarin, tentunya ini akan memberikan batu karang yang lebih keras bagi gerakan
rakyat.
Namun,
kenyataannya memang berpihak pada Jokowi. Populisme yang dibius oleh Jokowi
cukup membuat simpati tersendiri bagi rakyat di tengah kejengahan tradisi
pejabat-pejabat Negara yang bergaya elitis dan jarang turun ke bawah. Namun,
rakyat tentunya tidak akan terilusi kembali pada karakter populisme rezim.
Meski, pimpinan saat ini adalah seorang borjuis nasional, namun secara politik
peran borjuis nasional masih minor dan masih tersubordinasi oleh kekuatan di
atasnya. Aspek politik yang masih memegang peranan kunci dan mayor di negeri
adalah borjuis komprador, tuan tanah, dan kapitalis birokrat. Hal ini bisa
dilihat dari rantai kekuasaan yang mengikat di rezim Jokowi-JK, terlepas dari
perseteruan di antara Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih.
Sehingga
secara sendirinya, borjuis nasional tidak pernah menjadi kunci dalam percaturan
politik Indonesia. Kapitalis nasional terus digembosi oleh komprador dan tuan
tanah agar tetap menjaga skema Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia di peruntukan
bagi keuntungan asing yang dimonopoli oleh kekuatan tunggal Amerika Serikat.
Peran komprador sangatlah penting untuk AS sebagai pemulus jalan atas
eksploitasi kekayaan alam di dalam negeri. Sehingga kalau dilihat secara
bersama basis sosial di Indonesia yang setengah jajahan setengah feodal tidak
dihancurkan oleh rezim yang baru berkuasa. Siapapun presidennya, ia tidak akan
menciptakan perubahan yang fundamental atas perbaikan hidup rakyat, khususnya
buruh dan petani. Rakyat tetap dihimpit oleh skema ekonomi dan politik yang
menghisap.
Di
awal pemerintahannya, hal ini ditunjukan secara jelas oleh Jokowi ketika
mengunjungi agenda KTT G20, secara jelas Jokowi seperti sales Indonesia, yang
dengan gamblang mengajak investor-investor asing untuk datang ke Indonesia dan
pemerintah siap menyediakan Sumber Daya Alam dan tenaga kerja yang melimpah
bagi investor-investor asing. Juga semangat pemerintah dalam menghadapi
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)
Tidak
cukup sampai disana, lawatan ke beberapa pertemuan regional-internasional
Jokowi sebagai upaya untuk memastikan hubungan antar Negara yang didasari oleh
perdagangan bebas. Terutama keterikatan hubungan antara Indonesia dan Amerika
Serikat. Melihat dari berbagai program kerakyatan yang dibuat oleh Jokowi,
programnya tetap dikoneksikan bagi jalannya kebijakan neo-liberal di dalam
negeri. Sehingga, Indonesia sebagai Negara berkembang selamanya akan tetap
tunduk dalam kebijakan ekonomi Internasional yang dikuasai oleh kekuatan
tunggal Imperialisme AS.
Namun
rakyat kembali didera kegeraman ketika Jokowi menaikan harga BBM ditengah
penghidupan sulit yang dialami oleh rakyat. BBM, listrik, gas elpiji, dan
sembako dinaikan oleh Jokowi di awal pemerintahan dengan dalih subsidi
dialihkan ke sector produktif, termasuk infrastruktur. Belum genap 100 hari,
Jokowi telah membuat kebijakan-kebijakan strategis yang memukul mundur
penghidupan rakyat. Meski pada akhirnya Jokowi kembali menurunkan harga BBM,
kebijakan menurunkan harga BBM sejatinya bukan murni kehendak presiden, secara
internal itu lebih disebabkan oleh tekanan dan perjuangan rakyat bertubi-tubi
melawan kebijakan kenaikan BBM, dan juga secara eksternal itu pengaruh dari
harga minyak dunia yang anjlok ke harga terendah.
Hal
ini yang semakin menarik posisi rakyat lebih independen dalam relasinya dengan
rezim berkuasa. Rakyat lebih mempercayai kekuatannya sendiri dalam menyampaikan
tuntutan-tuntutan atas hak-hak dasarnya. Sehingga rakyat sekarang dapat
menguliti habis di balik topeng populisme rezim yang berkuasa telah berdiri
kepentingan ekonomi-politik Imperialisme AS dan feodalisme. Sampailah rakyat
pada jalannya sendiri untuk menentukan nasibnya sendiri.
*Vichi,
18 Januari 2015
Komentar
Posting Komentar