Oleh : Moch. Vichi Fadhli R
Babak baru Indonesia ditandai dengan naiknya Jokowi sebagai presiden Republik Indonesia menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono. Kemenangan Jokowi menuju tampuk kekuasaan tertinggi dilahirkan dari gesekan pemilu yang paling keras sepanjang sejarah. Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya yang menghadirkan banyak nama pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Pemilu kali ini hanya ada 2 pasangan yang melenggang dalam percaturan politik nasional. Prabowo Subianto menggandeng Hatta Rajasa sebagai pasangan yang melawan kubu Jokowi-Jusuf Kalla.
Konon, pertarungan politik pemilu 2014 menjadi pertarungan yang paling menguras perhatian seluruh masyarakat. Lawan yang paling serius diantara keduanya terletak di antara sentiment sesama klas reaksi, yang terpolarisasi ke dalam 2 klik. Klik pertama tentunya yang menamai diri Koalisi Merah Putih yang berisikan Prabowo, Hatta, Amien Rais, Aburizal Bakrie, dan lain-lain. Sedangkan Klik kedua adalah koalisi yang dibangun dalam kubu Jokowi, Jusuf Kalla, Megawati, Surya Paloh, dan lain-lain. Sesungguhnya 2 klik ini lahir sama-sama dari klas reaksi, yang tetap memiliki basis historis dalam sejarah politik tradisional Indonesia. Dalam melihat pertikaian diantara 2 klik ini, sebenarnya diantara keduanya tidak dilandasi perbedaan ideologis, baik berupa visi, misi, program, dan kepentingan. Tidak ada perbedaan substansi yang mencolok bila berbicara pertarungan 2 koalisi ini di ranah ideologi, politik, dan garis umum tujuan kenegaraan. Tapi pertikaian di antara kedua klik ini lebih dibangun atas dasar ambisi berbagai individu untuk duduk di kursi kekuasaan, yang dimanifestasikan lewat partai politik dan koalisi.
Perpecahan politik di antara sesama klas reaksi tentunya biasa terjadi dalam panggung politik dalam negeri. Ketegangan demi ketegangan yang terjadi sebenarnya hanyalah pertikaian di tataran elit partai. Namun istimewanya, mereka mampu memobilisasi masyarakat untuk ikut terhanyut dalam perdebatan para elit. Secara gamblang, beberapa elemen masyarakat terkotak-kotakan yang berujung pada perdebatan disana-sini.
Peristiwa ini menjadi cambuk bagi rakyat bahwa momentum pemilu ini sebenarnya tidak menghasilkan apa-apa untuk rakyat, namun keberhasilan partai-partai politik dalam menggiring massa dan menanamkan loyalitas untuk capres-cawapres telah memberikan devosi politik yang kuat di tengah massa. Berbagai intrik di berbagai bidang tidak hanya dijalankan oleh mesin-mesin partai dan koalisi, tapi masyarakat yang sebenarnya terpisah dari partai dan koalisi pun terpaksa termakan hasutan sehingga terjadi friksi yang cukup akut.
Rakyat Indonesia sadar bahwa Pemilu 2014 yang ditandai dengan intrik, saling serang di antara kubu adalah cerminan dari partai dan capres yang hanya didasari nafsu untuk berkuasa, dan tindakan-tindakan tersebut hanya semakin merugikan dan menyengsarakan rakyat. Karena imbasnya sangat dalam menyulut energi, emosi, mental, dan seluruh pikiran massa dalam kondisi rakyat yang sebenarnya masih didera berbagai persoalan serius yang belum teratasi oleh negara. Sampai tiba pada hasil bahwa Jokowi ditetapkan sebagai Presiden Baru Indonesia, gaung perlawanan tetap tiada henti diciptakan oleh klik Prabowo dengan Koalisi Merah Putih-nya.
Pelajaran yang dapat diambil oleh rakyat, segala situasi politik yang terjadi di dalam negeri tentunya harus dicermati secara jeli dalam perspektif klas beserta orientasi politiknya. Sejatinya, kedua pasangan tentunya sama-sama tidak akan menciptakan perubahan yang fundamental. Karena mereka lahir dan muncul dalam rahim kapitalis birokrat, yang juga berdampingan bersama komprador dan klas-klas feodal di dalam negeri. Tapi di antara kedua pasangan tersebut ada yang memiliki daya reaksi yang lebih keras terhadap rakyat. Koalisi Prabowo-Hatta menjadi cerminan yang sangat keras bagi gerakan rakyat di Indonesia. Jika ditinjau secara historis dengan latar belakangnya, militer tidak akan pernah terdamaikan dengan gerakan rakyat. Tugas dan fungsi militer tentunya sebagai alat pemaksa untuk dijalankannya segala kebijakan-dan peraturan negara dan memukul mundur segala upaya pihak-pihak yang mengganggu stabilitas negara. Peran inilah yang dimainkan oleh militer, dan sebenarnya kepentingannya berada di bawah pengaruh Kapital (modal) Internasional serta kelas-kelas yang berkuasa di dalam negeri. Terlebih lagi, Amerika Serikat kian memperkencang hubungan di bidang pertahanan dengan memasukan skema global Counter Insurgency (COIN). Ini adalah Sebagai upaya memperkuat peran militer dengan beberapa negara untuk memberangus gerakan-gerakan rakyat yang dibangun dalam kedok melawan terorisme.
Namun, hal ini bukannya tidak terjadi pada kubu Jokowi-JK. Beberapa kalangan militer pun terkonsolidasikan di tubuh Koalisi Indonesia Hebat (Jokowi-JK). Dan mereka akan menjadi pemantik api dalam gesekan yang tajam di tengah-tengah rakyat. Segala upaya untuk memaksakan kehendak politik pemerintah, namun yang sangat bertolak belakang dengan kepentingan rakyat akan bermuara pada fasisme. Baik itu fasisme secara tertutup, bahkan sampai kadar yang lebih tinggi lagi yaitu secara terbuka. Oleh karenanya, setiap perlawanan rakyat haruslah diarahkan kepada sasaran yang spesifik (sesuai dengan dialektika periode/momentum). Ketika memang Prabowo-Hatta tampil sebagai pemenang dalam pertarungan Pilpres kemarin, tentunya ini akan memberikan batu karang yang lebih keras bagi gerakan rakyat.
Sebuah kemenangan kecil terdapat dalam benak rakyat ketika bayang-bayang fasisme ala orde baru tidak berhasil memimpin negara. Namun, kemenangan ini sebenarnya bukan kemenangan politik rakyat yang murni.Ini hanyalah serpihan kemenangan dari kompleksitas situasi Indonesia yang dipaksa dalam tindasan opsi yang sulit.. Opsi pertama ialah tertutupnya ruang demokrasi di bawah kepemimpinan berlatar belakang militer yang keras dan anti demokrasi. Opsi kedua, dipimpinnya negeri oleh klik reaksi yang secara politik lemah dan rentan di pompa oleh kekuatan Imperialis. Hingga pada akhirnya, rakyat memilih untuk menyingkirkan rezim yang kadar fasis dan reaksinya lebih tinggi. Upaya-upaya yang dilakukan oleh rakyat sejatinya bukan sebuah bentuk dukungan secara politik pada salah satu kubu. Tapi secara politik, rakyat memegang kunci dalam ruang pemilu ini sebagai upaya untuk mengisolasi kekuatan-kekuatan reaksioner yang lebih keras dan berpotensi menghancurkan masa depan gerakan demokratis rakyat. Kesimpulan yang dapat diambil, segala upaya untuk memundurkan ruang demokrasi bagi rakyat adalah konsekuensi logis dari tekanan kekuatan luar, khususnya Imperialisme AS yang memiliki kepentingan atas ekonomi, politik, kebudayaan dan militer di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Kedua pasangan yang menjadi rezim baru tentunya tetap menjadi instrumen boneka bagi kepentingan imperialisme lewat berbagai karakter demi menguasai alam dan manusia, dengan menjalankan tindasan fasisme terselubung (kebijakan memaksa) atau fasisme terbuka (melalui alat represif militer atau paramiliter).
Secara esensi perjuangan yang dilakukan oleh rakyat mesti melewati berbagai tahapan dan strategi. Maka dari itu, rakyat terlebih dahulu mesti menutup ruang reaksioner (untuk mensyaratkan perkembangan gerakan demokratis rakyat), ini sebagai batu loncatan menuju perjuangan rakyat yang lebih maju. Pada akhirnya konfrontasi politik di antara rakyat sebenarnya tidaklah begitu penting. Yang terpenting adalah menyatukan kekuatan rakyat yang terpecah belah dari momentum Pilpres ini untuk menarik diri lebih independen. Sehingga persatuan rakyat kembali menemukan ruhnya dalam memblejeti rezim boneka AS yang baru.
Naiknya Jokowi-JK dan Awal Pemerintahannya
Kenyataan dalam pergulatan kursi presiden memang berpihak pada Jokowi. Populisme yang dibius oleh Jokowi cukup membuat simpati tersendiri bagi rakyat (awam) di tengah kejengahan tradisi pejabat-pejabat negara yang bergaya elitis dan jarang turun ke bawah. Namun, rakyat tentunya tidak akan terilusi kembali pada karakter populisme-nya rezim. Meski, pimpinan saat ini adalah seorang borjuis nasional, namun secara politik pengaruh borjuis nasional masih minor dan masih tersubordinasi oleh kekuatan di atasnya. Aspek politik yang masih memegang peranan kunci dan mayor di negeri adalah borjuis komprador dan tuan tanah. Hal ini bisa dilihat dari rantai kekuasaan yang mengikat di rezim Jokowi-JK, terlepas dari perseteruan di antara Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih.
Sehingga secara sendirinya, borjuis nasional tidak pernah menjadi kunci dalam percaturan politik Indonesia. Kapitalis nasional terus digembosi oleh komprador dan tuan tanah agar tetap menjaga skema kekayaan alam Indonesia di bawah dominasi asing yang dimonopoli oleh kekuatan tunggal Amerika Serikat. Peran komprador sangatlah penting untuk AS sebagai pemulus jalan atas eksploitasi kekayaan alam di dalam negeri. Sehingga kalau dilihat secara bersama basis sosial di Indonesia yang setengah jajahan setengah feodal tidak dihancurkan oleh rezim yang baru berkuasa. Siapapun presidennya, ia tidak akan menciptakan perubahan yang fundamental atas perbaikan hidup rakyat, khususnya buruh dan petani. Rakyat tetap dihimpit oleh skema ekonomi dan politik yang menghisap.
Di awal pemerintahannya, hal ini ditunjukan secara jelas oleh Jokowi ketika melakukan kegiatannya ke sejumlah agenda forum internasional sejak 8 November 2014, mulai dari Konferensi Tingkat Tinggi Kerjasama Ekonomi Negara-negara Asia-Pasifik (KTT APEC) di Tiongkok, KTT Perkumpulan Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) di Myanmar, dan KTT G20 di Australia [1]. Secara jelas Jokowi seperti Sales Indonesia, terutama saat pertemuan KTT G20 yang dengan gamblang mengajak investor-investor asing untuk datang ke Indonesia dan pemerintah siap menyediakan Sumber Daya Alam dan tenaga kerja yang melimpah bagi investor-investor asing. Ditambah juga semangat pemerintah Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Hal ini justru sangat berkontradiksi dengan rumusan visi, misi, dan program aksi Jokowi-JK dengan tema “Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian”[2]
Lawatan ke beberapa pertemuan regional-internasional Jokowi adalah sebagai upaya untuk memastikan hubungan antar negara yang didasari oleh perdagangan bebas. Terutama keterikatan hubungan antara Indonesia dan Amerika Serikat. Ini dibuktikan sebelum pertemuan G20, Jokowi-Obama menyempatkan diri menggelar pertemuan bilateral antara RI-AS. Pertemuan ini dilakukan sebagai bentuk memperkuat hubungan kedua negara pasca pergantian presiden serta tetap memastikan tertancapnya kepentingan Amerika Serikat secara ekonomi, politik, dan kebudayaan di Indonesia. Secara jelas, melihat dari berbagai program kerakyatan yang dibuat oleh Jokowi, programnya tetap dikoneksikan bagi jalannya kebijakan neo-liberal di dalam negeri. Sehingga, Indonesia sebagai negara berkembang selamanya akan tetap tunduk dalam kebijakan ekonomi Internasional yang dikuasai oleh kekuatan tunggal Imperialisme AS.
Namun, puncak kegeraman rakyat muncul ketika Jokowi menaikan harga BBM ditengah penghidupan sulit yang dialami oleh rakyat. BBM, listrik, gas elpiji, dan sembako dinaikan oleh Jokowi di awal pemerintahan dengan dalih subsidi dialihkan ke sektor produktif, termasuk infrastruktur. Belum genap 100 hari, Jokowi telah membuat kebijakan-kebijakan strategis yang memukul mundur penghidupan rakyat. Meski pada akhirnya Jokowi kembali menurunkan harga BBM, kebijakan menurunkan harga BBM sejatinya bukan murni kehendak presiden, secara internal itu lebih disebabkan oleh tekanan dan perjuangan rakyat bertubi-tubi melawan kebijakan kenaikan BBM, dan juga secara eksternal itu pengaruh dari harga minyak dunia yang anjlok ke harga terendah hingga di bawah US$ 45 per barrel. Alasan Jokowi ini membuktikan bahwa negara mengikuti mekanisme pasar yang ditentukan oleh Imperialisme AS. Kenyataan ini adalah wujud tidak berdaulatnya negara menguasai dan mengelola kekayaan sumber energi minyak di Indonesia.
Hal ini yang semakin menarik posisi rakyat lebih independen dalam relasinya dengan rezim berkuasa. Rakyat lebih mempercayai kekuatannya sendiri dalam menyampaikan tuntutan-tuntutan atas hak-hak dasarnya. Sehingga rakyat sekarang dapat menguliti habis di balik topeng populisme rezim yang berkuasa telah berdiri kepentingan ekonomi-politik Imperialisme AS dan tindasan-tindasan feodalisme di dalam negeri. Sampailah rakyat pada jalannya untuk menentukan nasibnya sendiri, tentunya di bawah panji-panji demokratis nasional beserta seluruh rakyat tertindas Indonesia.
*Moch. Vichi Fadhli Rachman,
Koordinator FMN Cabang Bandung
Sumber referensi:
[1] Lihat m.liputan6.com/news/read/2134707/6-momen-menarik-jokowi-di-luar-negeri , pada 13 Januari 2015. Pukul 15.00
[2] Lihat Visi, Misi, dan Program Aksi Jokowi-Jusuf Kalla 2014 “Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian”
Komentar
Posting Komentar