Oleh : Moch Vichi Fadhli R. S.Pd., M.M.
Pasar Tanah Abang dan beberapa toko pakaian tradisional mulai sepi. Banyak para pedagang gulung tikar dan merasa dirugikan karena kehadiran platform social-commerce dan perang harga yang tidak sesuai dengan logika pasar. Lalu, pemerintah tengah ramai ditekan agar membuat kebijakan khusus untuk menutup platform Tiktok sebagai media ekonomi yang menghancurkan UMKM tradisional.
Fenomena
ini sebenarnya terjadi karena adanya gap antara attitude dan behavior,
Carrington (2016) pernah meneliti persoalan ini secara kritis. Krisis ini
terjadi ketika pasar sendiri yang menciptakan gap di antara pilihan cara
berkonsumsi secara individualis dan ketersediaan pasar secara sistemik.
Hal yang
mendasari tersebut adalah bagian dari kontradiksi kapitalisme yang tidak pernah
bisa berhenti menciptakan hasrat tak terpuaskan dan ekses konsumsi. Dari
pernyataan ini muncul ketidaksesuaian antara hasrat dan perbuatan.
Ketidaksiapan masyarakat dalam mengkonsumsi masih dipaksakan dalam bentuk
hasrat yang terus diproduksi oleh pasar. Rendahnya daya beli masyarakat turut
diakibatkan oleh kondisi ekonomi dunia dan krisis pandemi Covid 19, yang turut
mengubah pola beli konsumen secara struktural dan global.
Skema
individualisasi akibat dari pelarangan aktivitas keramaian di masa Covid
memaksa masyarakat hidup dalam bentuk digital. Platform digital yang sudah
eksis memiliki keuntungan dalam memanfaatkan situasi ini karena dianggap lebih
siap dalam memenuhi kebutuhan konsumen. Kotler menyebut bahwa situasi krisis Covid sebagai akselerator digitalisasi.
Namun dalam perkembangannya, tidak semua jenis korporasi atau para pelaku pasar
siap terhadap digital dan tidak semua karakter konsumen siap dengan bentuk
digital. Meski begitu, sektor industry yang ada pada kuadran omni, yaitu sektor
industri high tech yang sangat siap secara digital dan dapat lebih mudah
bereksplorasi karena memiliki kesesuaian dengan segmentasi konsumen yang juga
melek digital.
Tiktok
adalah salah satu platform media sosial yang diproduksi di China dan memiliki
basis pengguna yang besar termasuk di Indonesia. Tujuan awal dari platform ini
sebagai wadah yang menyuguhkan beberapa konten video singkat dan terhubung
dengan target audiens yang relate.
Ada penelitian yang berkembang bahwa terdapat perubahan perilaku manusia atas
banjirnya arus informasi dan media yang membuat ada satu titik jenuh atas arus
digitalisasi. Sehingga perilaku manusia dalam mengkonsumsi suatu konten yang
menarik dalam media hanya kuat dalam waktu 5 detik pertama, selebihnya akan
terus berganti dalam aktivitas scrolling.
Tiktok dengan cerdik menyimpulkan kebutuhan audiens dengan suatu platform yang
dibutuhkan terutama masyarakat milenial dan Gen Z.
Sebagai
kelanjutan dari medium yang mempersatukan audiens dalam sebuah platform, Tiktok
mengambil langkah strategis dengan tidak hanya merebut perhatian masyarakat
rebahan yang butuh hiburan, namun juga merebut perhatian konsumen yang punya
kepentingan untuk membeli produk. Karena pada dasarnya ujung dari tujuan sebuah
platform yaitu menghasilkan profit. Ini tidak hanya berlaku di Tiktok, jauh
sebelumnya facebook, youtube, dan instagram sudah melakukan itu.
Platform-platform tersebut yang sudah lama menciptakan ruang bisnis baru bagi
prosumer (penggabungan dari produsen dan
konsumen) yang juga turut serta dalam mengoptimasi perilaku konsumsi mereka.
Pada teori
sosial media marketing, ruang platform sosial awalnya tidak cocok di optimasi
dalam aktivitas hard selling. Dalam
laporan Global Web Index dijelaskan bahwa alasan utama audiens menggunakan
media sosial adalah untuk mencari konten yang lucu dan menghibur, selain itu
juga untuk mengisi waktu luang. Sehingga para aktor yang bermain di media
sosial selalu menerapkan strategi 80/20 rules. Strategi tersebut menjelaskan
bahwa 80 persen postingan diisi oleh 80 persen hal yang informatif, menghibur,
dan mengedukasi, kemudian 20 persen nya diisi oleh aktivitas promosi, iklan dan
jualan. Dalam hal ini sepadan dalam teori
corong marketing funnel, yaitu
terdapat tiga aspek marketing yang dijalankan dalam bisnis digital terkait awareness, consideration, dan conversion.
Para pemasar yang bergelut sebagai konten kreator sangat paham menjalankan
fungsi awareness yang lebih dominan
dibanding untuk menyuguhkan fungsi conversion
atau penjualan di ruang social-commerce.
Namun
terdapat paradoks yang membuat rules tersebut didobrak, bahwa ruang media
sosial tersebut memiliki fitur khusus dalam melakukan aktivitas hard selling yang justru bisa menyerap
audiens untuk berbelanja. Facebook memiliki forum khusus marketplace yang sudah
banyak dipakai dalam aktivitas jual-beli. Instagram sempat memiliki fitur IG
Shop namun mengalami kegagalan karena kurang menarik minat para audiensnya.
Kemudian yang menjadi perbincangan ramai adalah dengan Tiktok Shop yang cukup
menggemparkan para pelaku ekonomi karena aktivitas jual-beli yang dapat lebih
terhubung pada konsumen menebas jarak ditambah
dalam fitur live dalam aplikasi.
Problematika Tiktok
Tiktok memiliki
kelebihan dalam wilayah jangkauan. Selain itu Tiktok adalah media yang
bergantung pada peran kolaborasi manusia dan mesin algoritma. Fenomena tersebut
memunculkan kekhawatiran mengenai persoalan privasi dan keamanan data pengguna
tiktok. Problem Tiktok ternyata tidak hanya di Indonesia, sebelumnya terdapat
14 negara yang sudah melarang Tiktok, seperti Amerika Serikat, India, Perancis,
dan lainnya. Pelarangan tiktok lebih disebabkan pada wilayah aspek keamanan,
moralitas, dan privasi. Hal yang berbeda justru di Indonesia, kegaduhan Tiktok
menyentuh pada aspek ekonomi yang disuarakan oleh para pedagang offline yang
kehilangan konsumen.
Pemerintah
akhirnya membuat kebijakan untuk melarang tiktok dan social-commerce lainnya untuk melakukan transaksi jual beli secara
langsung. Batasan yang diperbolehkan hanya pada aspek promosi dan iklan.
Kebijakan tersebut mendorong harus ada pemisahan antara sosial media dan e-commerce.
Tantangan
terbesar saat ini adalah bagaimana menyeimbangkan perekonomian di tengah ketimpangan
ekonomi dalam negeri. Beberapa produk yang terhubung pada perkembangan
teknologi kini sudah terlampau deras dan mematikan bisnis konvensional yang tidak
menggunakan teknologi. Perusahaan ritel seperti IKEA kini menggunakan realitas
berimbuh untuk memungkinkan pembeli potensial “mencoba” produknya secara
digital. Dengan begitu memancing pelanggan untuk datang ke gerai secara fisik
dan lebih memudahkan penjaga toko untuk menjual barang atau melakukan closing di toko.
Pemberdayaan Pedagang Konvensional
Pertanyaannya
saat ini bagaimana masa depan pedagang konvensional? Permasalahan tersebut ada
di wilayah kemampuan para pedagang untuk
tetap eksis. Sebelum berbicara tumbuh dan berkembang, akan sangat sulit jika
para pedagang harus dihadapkan pada arena pasar bebas secara kompetitif. Karena
didominasi oleh pedagang besar modern, maka para pedagang kecil atau sekelas
UMKM setidaknya tetap bisa bertahan hidup. Sebagian dari pelaku UMKM sendiri
memang sudah memadukan aktivitasnya ke ranah digital. Namun tidak semua para
pelaku cakap dalam memanfaatkan media digital.
Komentar
Posting Komentar