Langsung ke konten utama

Jakarta, Kau lebih Kejam Dari Ibu Tiri..



Hari jumat (25/1) adalah hari dimana kita memulai perjalanan menuju Jakarta. Meski awalnya aku sempat menolak ikut, tapi pada akhirnya aku ikut juga. Hal yang akan memberikan aku semangat adalah berjumpa dengan kawan-kawan di Jakarta yang sudah lama tak bertemu.
Sementara barang-barang bantuan sudah bertumpuk dan siap untuk diantar, kita memutuskan untuk memakai mobil untuk perjalanannya. Aku, Aldi, dan Restu/ketus, adalah kombinasi pelancong Jakarta yang cukup buruk, begitulah kata si Dicky.. Karena kombinasi ini buta wilayah Jakarta, dan akan banyak berbuat hal-hal konyol, begitulah ditegaskannya.
Tepat pada jam 17.30 kita berangkat dari kampus. Perjalanan cukup lancar. Beberapa kali kita transit atas beberapa kebutuhan. Tujuan pertama kita singgah sejenak di Tambun Bekasi, rumah Aldi, atas dasar keperluannya mengambil cassan laptop. Sekalian aldi menerima subsidi beras dari orangtuanya, cukuplah,,untuk mengurangi bebannya dan hidup miskin di Bandung. Haha
Selepas dari rumahnya, kita berwisata kuliner ke bebek goreng yang menjadi salah satu primadona tujuan kuliner di Bekasi. Rasanya memang dahsyat, sambalnya juara, dengan pelengkap Petay dan serundeng yang juga mantap. Sungguh nikmat sebenarnya agenda makan malam pada waktu itu.
Fenomena Marka Jalan
Beres makan, kita langsung meluncur menuju tujuan utama kita ke Jakarta. Yaaa tepatnya menuju Secretariat Nasional (seknas) FMN. Kita langsung mengakses tol dan cukup lancar. Tapi saat di belokan menuju arah keluar tol Jatinegara kita mendapatkan sedikit gangguan.
Ada 3 orang polisi yang sedang melakukan razia di persimpangan belokan jalan tol. Awalnya kita tak begitu khawatir, saat mobil kita diberhentikan, polisi menghampiri dengan ucapan khas andalan “selamat malam pak, bisa tunjukan surat-suratnya?”  Lalu kita mengeluarkan surat-surat dengan lengkap, tanpa diduga polisi berkata bahwa pengemudi harus masuk sidang nanti. “loh kok bisa pak? Apa pelanggarannya?” Tanya aldi, Polisi bilang “bapak telah melintasi Marka Jalan dan harus mengikuti sidang dan sementara SIM akan ditahan”. Dengan negosiasi yang cukup berbelit juga polisi tidak bertoleransi dengan kita yang akan mengirimkan bantuan banjir, akhirnya 70 ribu terpaksa melayang ke saku pak polisi, entah lumayan mungkin untuk rokok dan baso pinggir jalan bagi 3 orang serdadu fasis (polisi).
Dari sana kita tambah benci yang namanya polisi, shiiittt…marka jalan…marka jalan…huhhh.. aku menoleh ke belakang si setan ketus sedang enaknya ngagoler dengan bantal sumbangan banjir, dia tidak merasakan fenomena tilang ini, betapa lugunya dia dalam buaian mimpi-mimpi di bantal itu.
Tiba di Seknas FMN
Tepat jam 23.30 kita sampai di seknas FMN. Memang, saat aku memasuki seknas kondisinya berbeda dengan kondisi tahun-tahun lalu aku datang kesini. Tampak teras cukup berantakan, peralatan dapur berada di teras. Tampaknya sehabis banjir harus cukup bekerja keras kawan-kawan FMN membereskannya.
Di seknas ada Yogo, Eros, Samsul, dan 2 orang lagi aku lupa namanya. Sejenak remeh-temeh dan ngobrol-ngobrol dengan mereka. Sambil aku memperhatikan kondisi seknas yang masih agak berantakan. Tapi tak apalah, senang rasanya bertemu kawan-kawan satu perjuangan dalam kesatuan nasional.
Akhirnya kita memutuskan untuk berisitarahat, hari sudah terlalu larut dan mengharuskan kita untuk beristirahat karena pagi harinya kita harus berangkat mendistribusikan barang.
Berkeliling Ibukota
Sebenarnya jam 5.00 pagi aku sudah bangun. Aku tidak bisa kembali tidur. Karena memang aku kesulitan tidur nyenyak disini. Aku mencari-cari kegiatan, dan mungkin membaca Koran di pagi hari. Sekitar jam 08.00 kita mulai berangkat dari seknas bersama Yogo menuju secretariat Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI) di Cempaka Baru.
Dari GSBI kita langsung berangkat untuk berbelanja berbagai kebutuhan pokok korban banjir. Hal inilah yang cukup menguras waktu. 4 orang lelaki dengan gagahnya masuk ke dalam pasar swalayan untuk berbelanja dan sejenak kita untuk mengkamuflasekan diri sebagai ibu-ibu tukang shopping. Tampaknya memang kita tidak memiliki tampang yang cocok untuk shopping...
Hampir 3 jam kita habiskan waktu untuk berbelanja, hal yang sangat jarang kita lakukan sebagai pemuda kismin. Banyak yang kita belanjakan seperti mie instan, air, snack, susu, obat-obatan, Popok Bayi, Softeks, dll.
Beres belanja, kita kembali ke sekre GSBI untuk packing  barang. Dan darisana langsung pergi menuju lokasi korban banjir (Muara Baru). Inilah perjalanan yang paling mem-bt-kan dan menghabiskan banyak waktu. Kita benar-benar merasakan yang namanya macet di Jakarta itu seperti apa. Sudah mah jalannya sempit, volume kendaraannya membludak. Untuk maju sekitar sepuluh sentimeter pun terasa indah bagiku. Ahhh…Jakarta begitu kejam, ternyata macet yang aku keluhkan di Bandung itu belum seberapa ketika aku merasakan sensasi macet yang lebih berwarna di Jakarta.
Di perjalanan, kulihat banyak pemukiman kumuh, kali yang berwarna hitam pekat tidak sedikit ditemani sampah. Tapi di samping itu begitu banyak gedung-gedung yang menjulang tinggi. Dengan ornament-ornamen bangunan yang cukup megah dan besar. Kesemrawutan estetika kota itu benar terlihat. Bagaimana tidak, pertumbuhan capital asing terus digenjot untuk menumbuhkan arena pasar yang modern dengan high class perform, tapi hal ini berlainan dengan penghidupan rakyat yang tercerabut dalam lingkaran capital seperti kaum miskin kota yang cukup meluber di pinggiran ibukota. Bukti nyata pemukiman kumuh dengan penghidupan warga yang tidak terdidik dan sektor ekonomi menengah kebawah yang tidak terberdayakan. Beginilah kejamnya Jakarta. Jakarta konon telah tertransformasi secara utuh sebagai kota kapitalisme, corak feodal sudah hampir pudar di kota ini. Sehingga perlahan-lahan masyarakat tengah digiring untuk menjadi pelaku dan korban masyarakat kapitalis.
Mari kita hindari persoalan macet. Semacet-macetnya perjalanan pastinya akan sampai juga pada lokasi titik tujuan. Yahhh,, kita telah sampai di Muara Baru, tepatnya di daerah Penjaringan. Disanalah kita akan langsung mendistribusikan bantuan. Kulihat daerahnya, terlihat genangan becek yang masih cukup menjijikan. Genangan air yang berwarna hitam dan menyatu dengan sedikit sampah rumah. Awalnya aku merasa ragu untuk ikut ke dalam gang dan area perumahan, melihat kondisi yang banjir dan becek hitam beserta sampah aku cukup tidak selera. Tapi, menurutku, inilah ujian sesungguhnya bagaimana agar kita menjadi pelayan massa sejati. Aku tak boleh kalah oleh suatu keadaan. Akhirnya kulepas sepatu dan menceburkan diri untuk berkotor-kotor dan berbecek-becek ke dalam area gang tanpa alas kaki sambil membawa kardus bantuan. Ini mungkin kalau dalam bahasa populer kekinian kita turun ‘blusukan’ ke kampung.
Kebetulan memang temanku di sebelah juga sebagai Jokowi KW2 (ketus) tampak terbiasa dengan blusukan. Juga aldi sebagai reporter terus merekam dan memfoto reka aktivitas ini. Ini pengalaman yang belum aku dapatkan sebelumnya. Ini akan semakin meyakinkan kepadaku bahwa aku akan semakin mencintai massa dan berusaha agar tetap berada dalam satu garis bersama massa. Karena biar bagaimanapun massa adalah sumber dan pelaksana ide dalam mencipta perubahan.
Dengan begitu, kita beres mengumpulkan bantuan dalam suatu rumah. Tapi kita terpacu oleh waktu. Dan kita tidak bisa melanjutkan pekerjaan bersama kawan-kawan seperjuangan untuk mendistribusikan langsung ke seluruh warga. Akhirnya kita memutuskan untuk berpamitan bersama mereka dan kita akan langsung menuju ke tempat tinggal kakaknya Aldi di daerah Kebon Jeruk.
Cukup melelahkan, aku sedikit menahan rasa kantuk. Lagi-lagi dalam perjalanan kita melewati beberapa area macet. Huhhh…sabarlah.. Sampai di kosan kakaknya Aldi, kita langsung makan malam dan di ajak bermain ke Bunderan HI. Disinilah kita nongkrong sejenak dan bermalam mingguan. Rileks… tak pernah kuduga sebelumnya aku bakal menjalani hari yang cukup berwarna dan melelahkan. Tapi aku sungguh bahagia.



*Vichi, 28 Januari 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Kunci Rahasia Meningkatkan Omset Penjualan bagi Sales Kanvas

  Sejauh ini, banyak sales yang masih terkendala oleh hasil penjualannya karena tidak mencapai target.   Kalau di daerah yang kita kerjakan sama sekali mengalami fase stuck dan tidak berkembang. Maka kita harus cek atau periksa hal apa yang bikin hasil dari penjualan kita stagnan. Kalau kita sudah tau masalahnya, lalu kita bisa menciptakan solusi tersebut dari masalah yang kita miliki. Jika pencapaian omset diukur dari minggu ke minggu, Berikut ini kunci rahasia   omset penjualan agar meningkat :   1.  Bekerja berbasiskan data Banyak dari kita atau sebagai sales yang meremehkan data. Padahal data adalah faktor kunci kita dalam bekerja. Sayangnya banyak di antara kita yang berfokus pada aktivitas lapangan tapi lemah dalam soal data. Dapat dikatakan bekerja terkait data erat kaitannya dengan tim administrasi atau supervisor, karena hanya mereka yang memiliki keleluasaan dalam mengakses data. Padahal bagi seorang sales, jika bekerja berdasarkan data maka seorang sales di lapangan da

Skema Pemberangusan Demokrasi Kampus

Menyikapi Peraturan Disiplin Mahasiswa UPI 2013 Oleh : Moch. Vichi Fadhli R             Pemuda dan mahasiswa semakin dihadapkan pada ketidakpastian arah dan cenderung terjerambab dalam jurang semu dunia pendidikan kekinian. Hal ini semakin tampak, dalam melihati situasi nasional yang begitu bergejolak, dengan upaya liberalisasi di tubuh pendidikan yang pada akhirnya berimbas pada melonjaknya biaya pendidikan, komersialisasi pendidikan, hilangnya akses rakyat untuk mengenyam Pendidikan Tinggi (PT), juga diskriminasi terhadap rakyat dalam mengakes bangku pendidikan.             Dalam hal ini tentunya secara alamiah akan menumbuhkan gejolak protes masyarakat lewat berbagai aksi karena abainya pemerintah dalam melakukan pencerdasan terhadap seluruh rakyat Indonesia. Khususnya pemuda dan mahasiswa sebagai warga kampus yang turut secara langsung merasakan mahalnya harga kuliah sehingga akan timbul secara sendirinya gejolak massa dalam berekspresi, juga berpendapat dalam berbagai

Masa Depan Manusia VS AI

Oleh : Moch. Vichi Fadhli   Pada sekitar tahun 1950-an, sekumpulan ilmuwan melakukan eksperimen pada sekumpulan Kera di pulau Kojima. Beberapa ilmuwan tersebut menyimpan kentang manis di pasir pantai untuk makanan Kera. Suatu hari, seekor Kera Muda bernama Imo secara sengaja mempelajari cara bahwa Kentang akan terasa lebih enak jika dicuci lebih dahulu. Imo mulai mengajari kepada teman-temannya dan anggota keluarga yang lebih tua untuk membersihkan makanan agar makanan terasa lebih enak. Perubahan perilaku kelompok Kera tersebut mulai perlahan-lahan nampak. Akhirnya sebagian besar Kera mengadopsi cara tersebut dan kebiasaan tersebut menjadi sebuah ‘Norma Baru’ dalam sekelompok Kera. Fenomena ini dikenal sebagai efek Kera ke-100 sebagai bentuk perubahan perilaku. Fenomena ini menekankan tentang arti penting sebuah perubahan perilaku. Dalam diskursus marketing banyak kita temukan tentang perubahan Consumer Behavior . Perubahan juga didorong oleh penemuan-penemuan baru dalam ruang l