Langsung ke konten utama

Kekerasan Dalam Lingkaran Kapital

Oleh : Moch. Vichi Fadhli*


Sewaktu kita tengah dibuai oleh lelucon dan gaya hidup para public figure, lalu terhibur oleh ketampanan grup boyband dan kemolekan personil girlband di Indonesia, pada waktu itu pula kita lupa pada saudara-saudara kita yang tersakiti. Rakyat tengah dilanda kegaduhan. Kecemasan yang muncul ialah hak untuk hidup. Kekerasan mulai tampak kembali, dan pelakunya tidak lain adalah para eksekutor suruhan yang dibekali oleh kaum pemodal.
Tentunya kita tidak pernah berhenti mendengar keresahan-keresahan kaum buruh yang menginginkan jaminan upah yang layak. Upah untuk menyejahterakan anak dan istri. Dalam posisi yang tidak berada, mereka sadar bahwa mereka ingin memperjuangkan keberadaan mereka untuk hidup layak di negeri Indonesia ini. Lagi-lagi kaum yang tidak terperhatikan ini akan selalu menghadapi pertentangan. Yakni pertentangan dengan kaum kapitalis. Dan pertentangan ini harus merelakan darah yang mengalir dari tubuh-tubuh tak berdosa.
Dalam kasus ini, kita bisa menyimak persoalan yang hingga kini panas di tanah Papua.  Menurut sumber Kompas.com, aksi penembakan kembali terjadi oleh gerombolan tak dikenal yang terjadi di area pertambangan PT Freeport. Bahkan berita terkini empat warga telah tewas tanpa sebab yang jelas.
Sungguh ironis, kemanusiaan seakan bukan lagi harga utama dalam menyelesaikan suatu persoalan. Pelaku kekerasan telah bersekongkol dengan para pemegang modal. Sialnya, pemerintah tidak bisa bertindak apa-apa, bahkan melanggengkan terjadinya kekerasan itu sendiri. Ada apa dengan negara Indonesia? Apakah benar negara cenderung lemah bila berhadapan dengan perusahaan milik imperialis AS?
Negara dan Kekerasan
Menyimak teori fundamental ketiga dari Karl Marx tentang negara, bahwa negara dalam masyarakat borjuis merupakan senjata represif dari kaum borjuis. Kita menghendaki bahwa negeri ini sebagiannya adalah masyarakat borjuis. Golongan yang dominan serta memegang tampuk kuasa yakni kaum borjuis besar. Kaum borjuis selalu menempati posisi yang layak dengan kekuatan modalnya. Mereka selalu mempertahankan keadaan dan mengamini segala cara untuk menindas rakyat yang menentangnya.
Tidak aneh bila negara (baca: pemerintah) berselingkuh dengan PT Freeport dan tetap menjaga keharmonisan antara sesama kaum kapitalis. Mengutip sedikit kalimat dari Nezar Patria dan Andi Arief, dalam bukunya Antonio Gramsci : Negara & Hegemoni “Tiap lembaga, dalam masyarakat kapitalis dikontrol secara langsung oleh klas borjuis, dan fungsi utamanya adalah mengarahkan kekerasan”. Rakyat miskin selalu berada di bawah ancaman. Bila rakyat memberontak, mereka harus siap dengan peluru tajam.
Menarik juga untuk melihat bukti yang dipaparkan oleh Kontras, “sepanjang tahun 2010 sampai Juni 2011 tercatat telah terjadi terjadi 85 kali peristiwa kekerasan dengan jumlah korban sebanyak 373 orang”. Tentunya masih banyak praktik-praktik kekerasan yang tidak terdata. Biasanya korban kekerasan ini enggan untuk melaporkan kejadian kekerasan yang dialaminya. Kekerasan ini dilakukan oleh aparat polisi maupun TNI yang merupakan bagian superstruktur negara. Sungguh ironis, mengingat bahwa sejatinya peran aparat adalah melayani dan melindungi masyarakat. Berbanding terbalik dengan realitas yang ada. Bila situasi ini terus terjadi maka masyarakat siap menabuhkan mosi tidak percaya kepada aparat keamanan.
Tentunya kita tidak mengharapkan situasi tabu ini. Bilamana pemerintah tunduk terhadap negara-negara imperialis yang membawa banyak uang dan cenderung loyo melihat praktik kekerasan. Di sisi lain, buruh terus dihisap upahnya dan tenaganya. Maka, tak heran kaum buruh akan berserikat melakukan perlawanan.
Peran Kaum Intelektual
Dalam situasi negeri yang serba kontradiktif, peran pemerintah sudah tidak bisa diharapkan lagi. Harus ada suatu subjek yang mampu mendampingi semua ini. Bagi Gramsci, “klas sosial akan memperoleh keunggulan (supremasi) melalui dua cara, melalui cara dominasi atau paksaan dan yang kedua melalui kepemimpinan intelektual dan moral”. Dan apabila cara dominasi kaum yang tertindas masih terlalu sulit untuk  diwujudkan, maka kaum intelektual-lah yang harus dapat mendampingi dan menjembatani gerakan moral.

Melihat realitas sejarah, kaum muda adalah komponen penting dalam melakukan perubahan. Mahasiswa yang merupakan intelektual organik mesti mampu berjalan di tengah masyarakat. Mahasiswa didorong melaksanakan kerja sosial untuk menjawab peristiwa hilangnya nilai-nilai kemanusiaan yang beradab.  Kekerasan harus dijawab dengan kebudayaan yang manusiawi. Meski ini tugas berat, mari kita jalani bersama!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Kunci Rahasia Meningkatkan Omset Penjualan bagi Sales Kanvas

  Sejauh ini, banyak sales yang masih terkendala oleh hasil penjualannya karena tidak mencapai target.   Kalau di daerah yang kita kerjakan sama sekali mengalami fase stuck dan tidak berkembang. Maka kita harus cek atau periksa hal apa yang bikin hasil dari penjualan kita stagnan. Kalau kita sudah tau masalahnya, lalu kita bisa menciptakan solusi tersebut dari masalah yang kita miliki. Jika pencapaian omset diukur dari minggu ke minggu, Berikut ini kunci rahasia   omset penjualan agar meningkat :   1.  Bekerja berbasiskan data Banyak dari kita atau sebagai sales yang meremehkan data. Padahal data adalah faktor kunci kita dalam bekerja. Sayangnya banyak di antara kita yang berfokus pada aktivitas lapangan tapi lemah dalam soal data. Dapat dikatakan bekerja terkait data erat kaitannya dengan tim administrasi atau supervisor, karena hanya mereka yang memiliki keleluasaan dalam mengakses data. Padahal bagi seorang sales, jika bekerja berdasarkan data maka seorang sales di lapangan da

Skema Pemberangusan Demokrasi Kampus

Menyikapi Peraturan Disiplin Mahasiswa UPI 2013 Oleh : Moch. Vichi Fadhli R             Pemuda dan mahasiswa semakin dihadapkan pada ketidakpastian arah dan cenderung terjerambab dalam jurang semu dunia pendidikan kekinian. Hal ini semakin tampak, dalam melihati situasi nasional yang begitu bergejolak, dengan upaya liberalisasi di tubuh pendidikan yang pada akhirnya berimbas pada melonjaknya biaya pendidikan, komersialisasi pendidikan, hilangnya akses rakyat untuk mengenyam Pendidikan Tinggi (PT), juga diskriminasi terhadap rakyat dalam mengakes bangku pendidikan.             Dalam hal ini tentunya secara alamiah akan menumbuhkan gejolak protes masyarakat lewat berbagai aksi karena abainya pemerintah dalam melakukan pencerdasan terhadap seluruh rakyat Indonesia. Khususnya pemuda dan mahasiswa sebagai warga kampus yang turut secara langsung merasakan mahalnya harga kuliah sehingga akan timbul secara sendirinya gejolak massa dalam berekspresi, juga berpendapat dalam berbagai

Masa Depan Manusia VS AI

Oleh : Moch. Vichi Fadhli   Pada sekitar tahun 1950-an, sekumpulan ilmuwan melakukan eksperimen pada sekumpulan Kera di pulau Kojima. Beberapa ilmuwan tersebut menyimpan kentang manis di pasir pantai untuk makanan Kera. Suatu hari, seekor Kera Muda bernama Imo secara sengaja mempelajari cara bahwa Kentang akan terasa lebih enak jika dicuci lebih dahulu. Imo mulai mengajari kepada teman-temannya dan anggota keluarga yang lebih tua untuk membersihkan makanan agar makanan terasa lebih enak. Perubahan perilaku kelompok Kera tersebut mulai perlahan-lahan nampak. Akhirnya sebagian besar Kera mengadopsi cara tersebut dan kebiasaan tersebut menjadi sebuah ‘Norma Baru’ dalam sekelompok Kera. Fenomena ini dikenal sebagai efek Kera ke-100 sebagai bentuk perubahan perilaku. Fenomena ini menekankan tentang arti penting sebuah perubahan perilaku. Dalam diskursus marketing banyak kita temukan tentang perubahan Consumer Behavior . Perubahan juga didorong oleh penemuan-penemuan baru dalam ruang l