Oleh : Moch. Vichi Fadhli
Pada sekitar tahun 1950-an, sekumpulan
ilmuwan melakukan eksperimen pada sekumpulan Kera di pulau Kojima. Beberapa
ilmuwan tersebut menyimpan kentang manis di pasir pantai untuk makanan Kera.
Suatu hari, seekor Kera Muda bernama Imo secara sengaja mempelajari cara bahwa
Kentang akan terasa lebih enak jika dicuci lebih dahulu. Imo mulai mengajari
kepada teman-temannya dan anggota keluarga yang lebih tua untuk membersihkan
makanan agar makanan terasa lebih enak. Perubahan perilaku kelompok Kera
tersebut mulai perlahan-lahan nampak. Akhirnya sebagian besar Kera mengadopsi
cara tersebut dan kebiasaan tersebut menjadi sebuah ‘Norma Baru’ dalam
sekelompok Kera. Fenomena ini dikenal sebagai efek Kera ke-100 sebagai bentuk
perubahan perilaku.
Fenomena ini menekankan tentang arti
penting sebuah perubahan perilaku. Dalam diskursus marketing banyak kita
temukan tentang perubahan Consumer
Behavior. Perubahan juga didorong oleh penemuan-penemuan baru dalam ruang
lingkup sains dan teknologi. Saat ini generasi muda yang didominasi oleh
Generasi Y dan Generasi Z menjadi pasar konsumen terbesar dalam sejarah. Kedua
kelompok tersebut juga yang menjadi angkatan kerja terbesar dan paling mempengaruhi
bisnis di dalam perusahaan.
Perubahan saat ini yang cukup dirasakan
yaitu transformasi digital yang begitu cepat. Digitalisasi menjadi salah satu
stimulus dalam transformasi bisnis ke Marketing 5.0. Karena gaya hidup digital
sudah mewabah yang mengubah budaya masyarakat tertunduk pada gadget dan alat
digitalnya, sehingga cara kerja dan bisnis suka tidak suka, mau tidak mau harus
menyesuaikan. Tidak berbeda, ini salah satu norma baru yang diadopsi manusia di
abad ini.
Percepatan gaya hidup digital ini tidak
bisa dipungkiri, namun inersianya masih ada. Banyak pelanggan yang masih
terbiasa dengan cara tradisional dalam membeli dan menikmati produk dan jasa.
Salah satu contoh ini biasa kita dapati dalam bisnis di sektor distributor FMCG
dan retail. Namun, norma digital yang belum terbentuk dan terbiasa ini juga
bisa jadi dipengaruhi oleh ketidaksiapan pelaku industri dalam mengoptimalkan
model bisnis digitalnya. Berangkat dari kenyataan tersebut, kita harus
memisahkan terlebih dahulu mana yang tidak siap dengan digital: apakah segmen
pelanggan atau pelaku industri?
Kesiapan Digital
Tingkat kesiapan manusia dalam penerapan
digital berbeda. Perbedaan inilah yang menentukan strategi bisnis dalam
digitalisasi. Untuk menentukan strategi tersebut bisa ditarik kembali pada
teori permintaan dan penawaran. Dari sisi permintaan, -- bisa dilihat apakah
pasar atau konsumen sudah siap untuk pindah ke titik sentuh yang lebih
digital?. Kemudian dari sisi penawaran – menilai kesiapan dan kemampuan
perusahaan dalam melakukan digitalisasi dalam proses bisnisnya. Berangkat dari
kedua pertimbangan tersebut maka akan terlihat matriks yang memetakan posisi
perusahaan dalam kesiapan digitalnya. Philip Kotler menjelaskan bahwa ada 4
kuadran pelaku digital dari tingkat kesiapannya.
Kuadran Origin “Asal”
Perusahaan yang dikategorikan kuadran
origin ini masih tergantung pada interaksi fisik. Maka dari itu, perusahaan
yang berada di kuadran ini sangat mengalami pukulan telak ketika Pandemi Covid
19 melanda. Kuadran origin menampilkan ketidaksiapan pelanggan dan juga pelaku
industri dalam mengakses model digital. Contoh perusahaan dari kuadran origin
ini adalah perusahaan sektor layanan kesehatan dan pariwisata. Meskipun dalam
layanan kesehatan sudah mulai muncul beberapa aplikasi tele kesehatan namun
pasien tetap membutuhkan interaksi fisik dan banyak aktivitas yang mengharuskan
tatap muka dalam layanan kesehatan. Selain itu, sektor pariwisata merupakan
sektor yang turut lumpuh pada saat fenomena Covid 19. Aktivitas wisata pun melibatkan aktivitas
fisik manusia sehingga minim digitalisasi. Adapun perangkat digital hanya dalam
bingkai iklan dan promosi tempat wisata. Itu tidak lantas menjadikan industri
pariwisata siap atas digitalisasi.
Kuadran Onward
“Maju”
Perusahaan sektor ritel ada dalam bagian
kuadran maju dalam menjalankan perangkat digital. Namun sebagian masih kesulitan
dalam memigrasikan pelanggan agar lebih digital. Sektor industri dalam sektor
ini sebenarnya sudah memiliki ekosistem digital. Adopsi pelanggan masih belum
cepat dan merata, karena inersia masih ada. Aktivitas jual beli secara fisik
untuk datang langsung ke toko masih menjadi pilihan yang lebih baik bagi
konsumen.
Bisnis ritel yang dibangun atas platform
digital seperti Shopee, Tokopedia, Blibli dan lainnya sebenarnya telah
menciptakan syarat kuadran ini lebih maju. Pandemi Covid 19 juga menjadi akselerator
digitalisasi bagi konsumen. Artinya konsumen dalam melakukan belanja daring
semakin banyak. Maka sektor industri di kuadran ini masih cukup dinamis.
Kuadran Organic
“Organik”
Industri otomotif menjadi salah satu
contoh dalam kuadran ini. Segmen pelanggan yang ingin membeli kendaraan lebih
melek dan mencari setiap informasi lewat internet. Sedangkan model digital yang
dibangun oleh industri otomotif masih di ranah informasi dan pengetahuan
produk. Dari hasil penelitian Google/comScore didapat bahwa lebih dari 95%
pembeli mobil menggunakan platform digital sebagai sumber utama informasi.
Tetapi lebih dari 95% pembelian terjadi lewat diler.
Kuadran Omni
Kuadran Omni dapat dilihat dari contoh sektor
layanan finansial dan perusahaan High Tech. Karena kedua sektor ini pula yang
tahan pukul dari pandemi Covid 19. Pelanggan lebih siap, begitu juga dengan
pelaku industrinya yang membangun ekosistem digital yang lebih baik. Apalagi
sektor di kuadran omni ini sudah mempunyai program AI yang dapat langsung
dipakai oleh konsumen yang berkarakter melek digital juga.
Dari ke empat kuadran ini siap atau tidak
siap manusia digiring menuju era marketing 5.0. Mungkin di Negara kita transisi
marketing ini belum sempurna bahkan pada tahap 4.0 pun belum sepenuhnya berjalan.
Transisi
Industri 4.0 menuju Industri 5.0
Dalam industri 4.0 perkembangan bisnis
berada pada fase penciptaan, inovasi, dan penguatan berbasis pada teknologi dan
mesin. Peralihan dari aktivitas manusia menuju robotisasi membuat beberapa
organisasi harus menciptakan operasi bisnisnya secara robotik.
Dalam kegiatan pemasaran, beberapa cara
digitalisasi di dunia elektronik semakin masif. Cara ini dapat menghubungkan
manusia antar manusia lintas jarak. Dalam fase ini Sumber Daya Manusia harus
memiliki kompetensi dalam mengoperasikan teknologi dan mesin. Tanpa
keterampilan ini dunia industri tidak akan bergerak maju. Keterampilan manusia
dalam aspek teknologi adalah prasyarat lahirnya industri 5.0.
Sedangkan industri 5.0 adalah fase
dimana kebangkitan society dalam
mengimbangi mesin dan robot. Perkembangan SDM dengan kapabilitas yang dimiliki
diharapkan dapat mengkolaborasikan 2 unsur manusia dan mesin berjalan
beriringan sehingga memberikan suatu nilai yang lebih. Organisasi tidak membuat
dikotomi yang berlawanan atas 2 unsur ini. Namun membuat suatu sinergi yang
saling melengkapi satu sama lain.
Meski menampik dikotomi tersebut, kita
selalu membaca banyak narasi terkait robot yang akan membahayakan kelangsungan
hidup manusia sebagai tenaga kerja utama. Bahkan Elon Musk memberikan
pernyataan kalau rudal tidak akan lebih membahayakan kehidupan manusia, yang
lebih membahayakan adalah AI. Hal tersebut lebih dipertegas melalui laporan “Future of Jobs” dari World Economic
Forum (WEF) yang menyatakan pada tahun 2025 sekitar 85 juta jenis pekerjaan akan
menghilang atau tergantikan. Terdapat pergeseran pola kerja yang sebelumnya
dikerjakan oleh manusia jadi dikerjakan oleh mesin. Namun terdapat 97 juta peran
kerja baru yang lebih adaptif, terkait hal itu akan ada pembagian kerja antara
manusia, mesin dan algoritma.
Kondisi ekonomi dunia diuji oleh 2
pukulan telak. Pertama, disrupsi digitalisasi dengan beragam ketidaksiapan pelaku
industri dan konsumennya. Kedua pandemi Covid 19 yang mempercepat perubahan
digital, namun memperlambat laju pertumbuhan tenaga kerja. Semua yang serba
tidak jelas dan tidak pasti ini, jika kita sikapi dengan teliti justru masih terdapat
harapan bagi manusia untuk tetap bisa eksis dan berkembang.
Logika pertanyaan yang harus kita ajukan
adalah bukan “bagaimana manusia bisa mengalahkan robot/AI?” Tapi, “bagaimana
manusia bisa hidup berdampingan dengan robot/AI?” Berangkat dari kacamata
positif ini yang akan membuat nalar kita tetap sadar dan tidak dirundungi
pesimisme.
Lalu muncul pertanyaan baru, “bukankah penggunaan
robot lebih efisien dan lebih cepat dibanding manusia?”
Untuk menjawab pertanyaan ini kita bisa
melihat pengalaman ke belakang. Pada tahun 2015, The Henn-na Hotel di Jepang
secara resmi diakui oleh Guinness World Records sebagai hotel pertama yang
mempekerjakan robot. Terdapat robot resepsionis multi bahasa yang mampu memandu
tamu untuk Check In dan Check Out. Dilengkapi mesin mekanis untuk menerima
barang-barang tamu di bagasi. Ada juga
petugas robot yang membantu memesan taksi, dan robot pengurus yang
bertugas membersihkan kamar.
Awalnya penggunaan robot ini merupakan strategi
pemilik hotel dalam rangka mengatasi kekurangan staff di Jepang dan dapat
menekan biaya tenaga kerja. Namun, robot-robot tersebut justru membuat masalah
yang membuat tamu hotel menjadi frustasi. Salah satu contoh complain adalah ketika robot resepsionis
keliru menafisrkan suara mendengkur di dalam kamar sebagai sebuah pertanyaan,
sehingga membuat robot berulangkali membangunkan tamu di kamar yang sedang
tidur. Akibat hal itu pemilik hotel mengurangi layanan otomatisasi dan memecat
separuh petugas robot mereka.
Dari kenyataan tersebut kita bisa
menarik kesimpulan bahwa robot tidak dapat menyentuh dengan kompleks persoalan-persoalan
manusia. Karena peran manusia tetap sangat penting dan eksis di dalam industri.
Dari kacamata marketing, konsumen banyak menggunakan teknologi digital dalam
upaya pencarian informasi dan data, namun saat membeli lebih memilih saluran offline
dengan datang langsung ke toko. Hal ini diperjelas oleh riset yang dilakukan
McKinsey yang mengungkapkan bahwa 44% pelanggan mengadopsi webrooming (mencari secara online
dan membeli secara offline) sementara
23% memilih showrooming (memilih
secara nyata di toko dan membeli secara online).
Sebagian lainnya konsumen menggunakan pendekatan hybrid yang justru didukung
oleh perusahaan dengan kuadran omni: teknologi tinggi tapi sentuhan juga
tinggi.
Sampai akhirnya dapat ditarik kesimpulan
bahwa hidup dalam dualisme manusia dan AI/robot bukan lagi hidup dalam suasana
yang berlawanan. Narasi yang dibangun adalah kolaborasi manusia dan mesin untuk
menciptakan kehidupan yang harmoni. Jika mesin memiliki keunggulan secara
konvergen yaitu baik dalam pola, terstruktur, mampu memproses data, dapat
diandalkan dalam tugas yang berulang, dan berpikir logis secara algoritma. Sedangkan
manusia unggul dalam berpikir secara divergen, menemukan solusi di luar
kebiasaan (out of the box), menyaring gangguan, menarik pemahaman,
mengembangkan kebijaksanaan, dan lebih fleksibel dalam melakukan penalaran.
Referensi:
Laporan
WEF: 85 Juta Pekerjaan Bakal Digantikan Mesin pada 2025 (kompas.com)
WEF_Future_of_Jobs_2023.pdf
(weforum.org)
Philip Kotler, Hermawan, & Iwan. (2022). Marketing 5.0 Teknologi untuk Kemanusiaan. Jakarta: PT. Gramedia
Komentar
Posting Komentar