Oleh : Mochamad Vichi Fadhli Rachman
Bekerja adalah cara kita hidup dan
menciptakan suatu nilai guna. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk yang
diberi akal dan pikiran. Oleh karenanya bentuk aktualisasi dari akal yang
dimiliki yaitu dengan cara bekerja. Beberapa dari kita dapat melihat bahwa
bekerja di dalam suatu organisasi dapat mendorong kondisi-kondisi tertentu yang
mempengaruhi manusia sebagai individu.
Di dalamnya kerapkali ditemukan beberapa masalah yang menyangkut aspek
individual (pekerja) ataupun organisasional. Stres adalah bagian dari itu.
Menurut survei mengatakan
bahwa 64% pekerja di Indonesia merasa tingkatan stres mereka bertambah
dibandingkan tahun sebelumnya (Ramadian.G, 2012). Lebih khusus lagi Jawa Barat
merupakan provinsi yang cukup tinggi dengan angka 2 juta orang mengidap depresi
(Riskesdas, 2018). Tidak jarang kita menemukan gejala stress ini hadir
dikarenakan permasalahan di dalam pekerjaannya. Namun ada hal yang unik juga
terjadi di tengah kondisi stres para pekerja, banyak dari para pekerja yang
justru memilih untuk tetap bertahan di dalam pekerjaannya. Apa penyebabnya?
Sebelum kita lanjut,
terlebih dahulu mari kita bedah faktor-faktor yang menyebabkan seseorang
mengalami stres dalam bekerja. Menurut Luthans, ada dua faktor penyebab stres
dalam bekerja yaitu faktor organisasi dan non organisasi. Sedangkan faktor
organisasi seperti konflik antar karyawan, lingkungan yang tidak kondusif,
struktur kerja, dan beban kerja tinggi (role
overload). Faktor penyebab stres ini pun bisa semakin meluas sesuai dengan
karakteristik pekerjaannya di dalam organisasi.
Maka hal yang perlu diperhatikan
disini cara seseorang dapat tetap bertahan dalam pekerjaannya, sedangkan
pekerja tersebut memiliki kondisi stres. Saya melihat bahwa selain pekerja itu
sendiri yang dapat mengatasi masalahnya, peran manajer lini atau atasan dalam
perusahaan pun cukup sentral. Karena
bisa jadi kondisi stres muncul karena faktor manajemen. Persoalan mengurus dan
mengelola Sumber Daya Manusia (SDM) dalam organisasi tidak hanya menjadi
tanggung jawab HRD, di levelan cabang peran manajer lini punya fungsi dan
tanggung jawab dalam mengurus dan mengelola permasalahan SDM ini.
Sebelumnya kita ambil contoh
kasus, ada suatu masalah internal di salah satu perusahaan perbankan meliputi
gesekan dan konflik antar karyawan di kantor. Aroma persaingan yang begitu
kental, fenomena pelecehan, bullying, iri dan lainnya merupakan budaya psikis
negatif yang tidak bisa terhindarkan di dalam organisasi. Hal ini juga
mendorong pada budaya saling menjatuhkan, yang akan merusak budaya kerjasama
tim di dalam perusahaan. Bagi siapa pihak yang kalah, maka stres kerja bisa
menjadi akibatnya.
Persoalan seperti ini tidak bisa diatasi
secara individual saja, tapi harus melibatkan organisasi yang dinakhodai oleh
jajaran manajemen untuk membuat sistem kebijakan yang dapat membangun budaya
kerjasama tim. Selain itu manajer lini harus bisa cermat mengamati karakter
dari setiap karyawan untuk dapat memediasi dan melakukan pengkondisian kerja
sehingga menumbuhkan budaya positf di dalam timnya.
Loyalitas
Karyawan
Bagi mereka yang tidak
dapat bertahan atas kondisi stres, maka keluar kerja (resign) menjadi pilihannya. Disamping itu, ada suatu fenomena bagi
karyawan yang ditempa beberapa kali atas kondisi pressure, namun karyawan tersebut justru semakin menunjukan
loyalitasnya terhadap perusahaan. Apakah hal yang bisa mendasari ini?
Loyalitas bisa tumbuh
dalam diri dan juga dari pengaruh organisasi dalam memberikan rasa nyaman
terhadap pekerjanya. Tapi terdapat juga faktor non organisasi yang dapat
menumbuhkan loyalitas, salah satunya faktor kebutuhan. Yaitu ketika seseorang
keluar dari pekerjaannya, maka seseorang takut tidak mendapatkan pekerjaan dan
penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada akhirnya fenomena ini
adalah suatu bentuk loyalitas yang dipaksakan atas suatu kondisi.
Namun, saya melihat bahwa
loyalitas seseorang terbentuk atas rasa puas seorang karyawan terhadap
organisasi yang bisa meliputi visi, misi, dan arah kerja yang sejalan dengan
ide dan pikiran karyawan. Selain itu, apresiasi dan penghargaan terhadap
seorang karyawan pun akan menumbuhkan jiwa loyalitasnya. Menurut penelitian
Hermawan dan Riana (2013), ada empat faktor yang mempengaruhi loyalitas
karyawan. Keempatnya meliputi faktor kompensasi, tanggung jawab, disiplin, dan partisipasi.
Contoh sederhananya, ketika seseorang mendapatkan gaji yang besar atau memiliki
suatu jabatan, maka akan mempengaruhi loyalitas terhadap karyawan tersebut.
Maka kita bisa melihat,
seorang karyawan yang diberikan pressure
yang tinggi sehingga menciptakan stres di tengah pekerjaan namun karyawan
tersebut masih tetap bertahan dan loyal, hal itu bisa diartikan faktor-faktor
yang mempengaruhi loyalitasnya lebih kuat dibanding kadar stres yang
diterimanya. Ataupun kita dapat tinjauan bahwa bisa jadi karena kepuasan kerja
yang diterima oleh karyawan tersebut lebih besar dibanding kadar stres yang
diterimanya.
Seseorang bisa mendapatkan
level kepuasannya dalam bekerja ketika sudah memenuhi lima unsur kebutuhannya.
Menurut teori Maslow, ada lima unsur hierarki kebutuhan manusia yaitu dimulai
tingkat yang paling rendah (biogenic)
sampai tingkat paling tinggi (psikogenik),
5 tingkatan ini dimulai dari kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman,
kebutuhan sosial, kebutuhan penghargaan diri, dan tingkat paling tinggi adalah
aktualisasi diri. Jika kelima unsur kebutuhan ini sudah dipenuhi oleh
organisasi, maka loyalitas seorang karyawan di dalam organisasi akan tumbuh.
Konklusi
atas Stres dan Membangun Loyalitas
Menurut
saya, pada dasarnya kondisi stres adalah suatu bentuk yang wajar. Hal yang
perlu kita tekankan disini adalah mengelola stres yang baik. Stres sendiri
tidak selamanya buruk, karena ada 2 pola umum terkait pengelolaan stres,
pengelolaan stres positif dan negatif. Stres yang dikelola dengan positif
justru akan menciptakan peningkatan hasil atau output kerja, namun sebaliknya
jika pengelolaan stres negatif maka akan menimbulkan konsekuensi terjadi
penurunan produktivitas karyawan. Selain itu, kecakapan seorang manajer lini
dalam melihat karyawannya secara tim maupun secara individu menjadi kunci dalam
pengambilan kebijakan organisasi. Organisasi yang sehat adalah organisasi yang
tidak hanya berfokus pada ranah operasional kerja dan mencari keuntungan (profit) perusahaan semata, melainkan
organisasi yang dapat mengelola SDM nya menjadi SDM yang unggul dan berkembang.
Organisasi pun penting menumbuhkan jiwa loyalitas terhadap karyawan dengan memberi aspek kepuasan terhadap karyawannya. Kepuasan bisa jadi merupakan antitesa dari stres itu sendiri. Ketika seseorang loyal terhadap organisasi maka kemungkinan besar individu tersebut akan mencurahkan tenaga dan pikirannya dengan optimal untuk organisasi. Hal ini akan mendorong produktivitas.
Sumber daya manusia yang berkualitas, investasi pada sumber daya manusia menjadi sangat penting yang berhubungan dengan kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan harga diri seseorang. Perlu kita tinjau ulang mengenai organisasi yang sedang kita jalani, apakah menyehatkan atau nahkan sebaliknya. Kata menyehatkan mencu salah satunya kepada bagaimana Organisasi memperhatikan terhadap tingkat stress pegawainya. Sumber: Green dan Haines (2002) dalam Asset building and community development
BalasHapus