Langsung ke konten utama

Analisa Kebijakan Imperialisme terhadap Bangsa-Bangsa di Dunia

Dalam perkembangan situasi ekonomi-politik dunia, sekaratnya Imperialisme adalah kenyataan yang tidak lagi terbantahkan. Hingga saat ini, imperialisme sebagai tahapan puncak dari sistem kapitalisme di dunia, sudah menebarkan bau busuk bagi massa rakyat di berbagai belahan dunia. Namun, di tengah sakitnya yang kronis, dengan tanpa malu Imperialisme akan semakin melepaskan topeng manisnya. Wajah “demokrasi borjuasi liberal” yang diproduksi oleh kapitalisme monopoli merupakan bedak dan gincu pemanis di hadapan rakyat. Imperialisme akan menunjukan dirinya dalam wujud yang paling bengis “Kediktaturan Fasis Borjuasi Besar Monopoli” berupa tindasan-tindasan terbuka dan barbar di hadapan bangsa-bangsa dan rakyat dunia.
Tidak ada yang bisa menyembuhkan krisis, mereka hanya mencari cara untuk memperpanjang nafasnya. Upaya imperialisme untuk bertahan hidup dilakukan dengan membagikan beban krisisnya dengan cara mengirimkan operasi kapital finansnya yang menumpuk. Sasarannya pada negara kapitalis kecil dan negara Setengah Jajahan Setengah Feodal (SJSF) seluruh dunia melalui kebijakan neo-liberal. Klas borjuasi besar monopoli AS dan Eropa semakin didera frustasi yang begitu dalam buah dari krisis yang diakibatkan oleh dirinya sendiri, seperti yang menimpa pada kebijakan Program Austerity di Yunani, Italia, Portugal, dan Spanyol, serta yang menimpa beberapa negara kapitalis bergantung lainnya.
Selain negara kapitalis, pada situasi krisis seperti ini, negara SJSF adalah client yang paling empuk bagi Imperialisme guna menambal borok krisisnya dari super-profit. Imbas dari ini semua, bentuk penindasan dan penghisapan dua kali lipat dirasakan oleh klas buruh di pabrik-pabrik dan kaum tani di pedesaan. Kerja produksi dari klas buruh dan rakyat pekerja seluruh dunia yang lebih eksploitatif telah menciptakan “nilai lebih” baru bagi Borjuasi Besar Monopoli dan klas-klas reaksioner dalam negeri.
Dinamika sesama negara imperialisme itu sendiri terus bergerak dan penuh intrik. Pergolakan dari krisis tentunya tidak bisa menghindarkan diri dari konsekuensi pertentangan antar negara imperialis. Salah satunya dibuktikan dari keputusan Rusia untuk keluar dari forum G-8 semenjak krisis di Ukraina tahun 2014. Hal ini juga yang memaksa AS untuk kembali mengontrol dan menarik kembali konsolidasi yang lebih solid bagi negara-negara G-7 (Amerika Serikat-Kanada, Jerman, Inggris, Perancis, Italia, dan Jepang). Upaya yang dilakukan tentunya untuk meredam derajat pertentangan sesama imperialisme. Namun, tajamnya pertentangan antar negara imperialis dan antar klas reaksioner di AS dan Eropa belum diikuti secara setimpal oleh kenaikan klas buruh dan rakyat tertindas dalam melawan imperialisme.
Imperialisme bisa saja menciptakan sejarah baru Perang Dunia Ketiga oleh karena semakin tajamnya pertentangan antar negara imperialis, namun itu hanya bisa terjadi ketika perimbangan kekuatan Imperialisme secara ekonomi dan militer sepadan. Kenyataan saat ini, monopoli kekuatan berada di tubuh Imperialisme AS dan belum ada yang dapat menandinginya. Imperialisme Amerika Serikat selalu mampu mengatasi persaingan antar negara-negara imperialis agar tetap timpang. AS juga selalu bisa mencegah adanya potensi kebangkitan secara ekonomi dan militer dari negara imperialis lain.
Dalam segi militer, upaya penguatan aliansi militer U.S-NATO dijalankan di seluruh benua, dan beberapa upaya politik isolasi terhadap Rusia dilakukan untuk menjaga stabilitas persaingan imperialisme agar tetap di bawah kepemimpinan tunggal Imperialisme AS. Sedangkan di Asia, Amerika Serikat memperkuat kerjasama militer dengan Jepang untuk memperkuat dominasi AS di Asia. AS memperkuat hubungan dengan Jepang ditandai dengan US-Japan Defense Cooperation. Kerjasama ini melahirkan mekanisme kordinasi aliansi di bidang militer untuk menggabungkan 2 kekuatan utama di Asia Pasifik, terutama untuk menghadang laju kekuatan ketiga dunia yang sedang tumbuh yakni Tiongkok, serta membendung Korea Utara dan Rusia.
Amerika Serikat dan Eropa masih memobilisasi kekuatan dan dukungan dalam negerinya untuk melancarkan perang agresi dan intervensi di seluruh dunia. Saat ini, sasaran dari operasi agresi adalah melancarkan perang di Afganistan, Iraq, Syria, dan Libya. Lebih liciknya AS kerap melakukan rekrutmen tentara regulernya dan mengisi basis militernya dari pemuda-pemuda pengangguran yang berlimpah di negerinya sendiri. Seperti yang sedang terjadi  saat ini, gejolak panas sengaja diciptakan melalui kelompok teroris dengan kedok fundamentalisme Islam “ISIS”. AS sengaja mempromosikan skenario teroris ciptaannya “ISIS” untuk melumpuhkan negeri Syria dan Iraq tanpa terlihat batang hidung AS. Kepentingan dari klas Borjuasi Monopoli AS tentunya sebagai upaya melemahkan dan bentuk destabilisasi negara-negara Asia Barat sehingga melahirkan krisis politik di dalam negerinya. Krisis politik menjadi prasyarat Imperialisme AS untuk membuka jalannya dalam mendirikan pemerintahan boneka dan membuka syarat legitimasi AS dalam penguasaan kawasan jalur pipa minyak.
Sama seperti beberapa tahun ke belakang dengan fenomena Arab Spring yang memantik tumbuhnya gerakan-gerakan rakyat di Asia. Krisis dan Perang adalah anak kandung dari sistem Kapitalisme Monopoli itu sendiri. Dan Imperialisme AS adalah dalang kejahatan dibalik semua aksi terorisme berkedok fundamentalisme agama yang ditandai dengan kemunculan ISIS. Hal tersebut bahkan diakui oleh Hillary Clinton bahwa ISIS adalah kelompok yang didanai dan dilatih oleh Amerika Serikat untuk menebarkan terror dan provokasi di Asia, khususnya di Suriah, Iraq, dan Yaman. Bahkan baru-baru ini, serangan terror bom dan penembakan sudah menghujam jantung kota Paris di Perancis, akibatnya 127 korban jiwa meninggal dan 200 korban luka-luka, hal ini menyulut Pemerintahan Perancis untuk mengobarkan aksi balasan terhadap terorisme. Jelas, Imperialisme AS akan sangat diuntungkan dari situasi ini, selain destabilisasi politik di dalam negeri Perancis, hal ini juga akan meningkatkan penjualan persenjataan yang over-produksi di dalam negeri imperialis AS.
Lalu pertanyaannya bagaimana Imperialisme mengambil peran di negara SJSF dan negara kapitalis yang lemah? Negara setengah jajahan setengah feodal dan negara kapitalis lemah adalah alat klas borjuasi besar monopoli di negara imperialis yang dikontrol melalui pemerintahan boneka dan klas-klas reaksioner lokal untuk menghapus bentuk-bentuk kedaulatan dalam negeri. Mereka biasanya berperan sebagai agen keuangan, finansial, manufaktur, dan perdagangan melalui Borjuasi Besar Komprador (Borjuasi kaki tangan Imperialisme) dan Tuan Tanah besar. Berbagai kebijakan yang dilakukan juga mendorong ekspor kapital produktif (investasi), kapital utang (loan capital), pemberian dana dalam wajah “bantuan sosial”, dan pendirian basis militer.

Operasi Oligarki Finansial oleh Imperialisme
Oligarki finansial merupakan cara dari Imperialisme menjalankan roda ekonominya dengan perkembangan bentuk yang paling mutakhir. Klas borjuasi besar memakai skema oligarki finansial dengan menggunakan institusi keuangan monopoli internasional yang biasa dikenal dengan istilah “Bretton Wood” yaitu IMF, Bank Dunia, Bank Sentral Dunia (Bank of International Settlement-BIS), Bank Sentral Amerika Serikat (Federal Reserves), Bank Sentral Uni Eropa (Europan Central Bank-ECB), dan Bank Sentral di negeri imperialis G-7.
            Institusi keuangan tersebut memegang peranan yang luar biasa dalam sistem kapitalisme monopoli internasional bersama-sama dengan industri besar pertambangan, manufaktur, perdagangan, transportasi, persenjataan, telekomunikasi, dan lain sebagainya. Oligarki finans “Bretton Wood” tersebut mendominasi produksi, perdagangan, dan jasa di seluruh dunia. Mereka juga memproduksi mata uang melampaui seluruh produksi komoditas, perdagangan, dan jasa yang dibuatnya lalu menyebarkannya ke seluruh dunia. Hasil transaksi ekspor dan impor yang disebarkan ke seluruh negeri akan kembali disedot olehnya dalam bentuk cadangan devisa (Currency Reserves).
            Skema ini dilakukan sebagai bentuk penghisapan “nilai lebih” secara tidak langsung. Oligarki finansial selalu mendikte kebijakan ekonomi-politik yang diambil oleh seluruh negara di dunia agar “menciptakan defisit neraca ekspor-impor” dan “defisit anggaran belanja negara”. Keadaan yang serba defisit dari seluruh negara akan menjadi pintu masuk bagi investasi dan utang  imperialis lewat bentuk Surat Utang Negara (SUN) atau Obligasi yang mengaburkan seluruh hasil kerja klas buruh dan kaum tani di negerinya. Seluruh aset negara, korporasi lokal, dan seluruh produksi rakyat dijadikan objek spekulasi finansial berkedok investasi melalui pasar uang, pasar obligasi, dan bursa saham.
            Di tengah situasi krisis yang mencekik, imperialis pun menyadari bahwa mereka harus membayar lebih mahal ongkos ekspansi dan kerugian yang menimpa di dalam industrinya. Mereka menyadari bahwa nilai jual produksinya tidak sebanding dengan daya beli bangsa dan rakyat di seluruh dunia. Produksi komoditas semakin anarkis, jumlah barang semakin menumpuk, dan hasil produksinya semakin tidak ada sangkut pautnya untuk memenuhi keperluan hidup rakyat dunia. Akan tetapi mereka tetap harus melanjutkan produksi kapitalisnya (meski anarkis). Oleh karena itu, mereka berlari untuk memainkan “kapital finans” agar tetap menjaga “penghisapan nilai” dan memanipulasi skema surat-surat berharga. Dengan cara yang sama oligarki finans melahirkan ilusi “kebutuhan” kapital ke seluruh dunia. Negara di seluruh dunia seolah-olah membutuhkan suntikan kapital dari negara-negara maju (imperialis besar). Dari sinilah Imperialis dapat mengendalikan suku bunga agar bisa memudahkan pemberian kredit besar-besaran kepada para client-nya. Suku bunga sengaja ditekan kecil agar semakin besar kredit yang dikucurkan. Meskipun pada akhirnya hutang tidak dapat dibayar oleh negara client, peran IMF dan sekutunya adalah memberikan utang baru untuk bisa membayar utang yang lama, seperti kasus krisis di Yunani, Spanyol, dan Portugal. Dari sinilah letak strategis institusi keuangan monopoli “Bretton Wood” mengambil peranannya yang jahanam untuk melindungi kepentingan klasnya.
            Ekspor kapital finans imperialis raksasa mengerangkeng negara kapitalis lemah. Kita sadari, negara kapitalis kecil saja sebenarnya masih menghisap dan menindas klas buruh di dalam negerinya, kini ia dipaksa untuk tidak berdaya menciptakan kapital di dalam negerinya dan harus bergantung pada skema imperialisme seperti AS. Dampak pahit yang dirasakan dua kali lipat tentunya adalah klas buruh, mereka harus dipaksa untuk ditekan upahnya semurah mungkin dan dihadapkan oleh kebijakan PHK massal oleh kapitalis-kapitalis yang mengalami kebangkrutan di dalam negerinya.
          Sesungguhnya, negara setengah jajahan setengah feodal (SJSF) lah yang menderita dampak krisis yang paling parah. Komoditas pertanian dan pertambangan negara SJSF berada dalam cengkeraman spekulasi keuangan di bursa pasar Imperialisme. Beban krisis imperialis nyatanya menumpuk di pundak rakyat tertindas dan terhisap di negeri setengah jajahan setengah feodal. Di negara non-industrial terbelakang, pembangunan infrastruktur adalah penyelamat kapital-finans imperialis yang terancam membusuk. Proyek infrastruktur dapat membantu imperialis meraih super-profit yang disedot dari hasil eksploitasi tenaga kerja dan kekayaan alam (bahan mentah) murah di dalam negeri. Pada dasarnya, pembangunan hotel, komplek real-estate, apartemen, komplek industri, jalan tol, waduk, bendungan, lapangan udara, dan taman nasional sekalipun tidak memiliki peranan dalam memajukan keadaan massa. Ini adalah ilusi yang dibuat di negeri setengah jajahan setengah feodal. Konsentrasi utama negara SJSF adalah membangun properti dan infrastruktur. Pemerintah memolesnya seperti “menyulap wajah negeri-negeri terbelakang” agar nampak maju. Padahal sebenarnya pembangunan tersebut bersandarkan pada investasi dan utang. Tampak seperti gagah di luar, tapi sebenarnya rapuh dan mematikan keuangan dalam negeri. Sementara pemerintahan boneka di negara SJSF bisa dengan mudah memanipulasi pertumbuhan ekonomi. Seperti di Indonesia, pertumbuhan ekonomi justru didasarkan dalam skala ekonomi makro atas meningkatnya investasi dan utang luar negeri. Pertumbuhan ekonomi ini tidak didasarkan pada pendapatan riil masyarakat.
            Perjuangan klas dan gerakan rakyat tertindas di seluruh dunia harus cermat memandang secara dialektis situasi objektifnya. Terdapat ilusi dari teori yang mengatakan bahwa kapitalisme monopoli atau imperialisme bisa menjadikan negeri dan masyarakat dunia bergerak maju, mengubah negeri agraris menjadi negeri kapitalis; menyebarkan sistem produksi, pengetahuan, dan membawa maju teknologi nasional. Itu semua adalah ilusi yang menyesatkan. Anggapan tersebut mengikuti cara berpikir bahwa imperialisme dengan sendirinya akan menghancurkan feodalisme di suatu negara. Pandangan ini bersandar dari teori Karl Kautsky (seorang pemimpin Revisionisme Klasik) yang menyatakan bahwa “praktek imperialisme akan mendorong internasionalisasi produksi kapitalisme”. Tapi kita semua harus berangkat dari kenyataan, sistem feodalisme dalam bentuk yang tidak utuh (sisa feodalisme) justru masih eksis di negara-negara berkembang dan miskin (SJSF). Corak produksi agraria terbelakang justru tetap dipertahankan dan menjadi sandaran imperialisme dalam menyedot bahan mentah dan tenaga kerja yang sangat murah. Benar, bahwa Imperialisme masih mewarisi sifat inheren dalam sistem ekonomi kapitalis. Akan tetapi imperialisme adalah kapitalisme yang sudah kehilangan seluruh sifat progresifnya dalam menghancurkan sistem ekonomi feodal. Jelas, bahwa kapitalisme yang progresif sudah lapuk dan habis. Tak ada lagi kapitalisme yang dapat menghancurkan sistem feodal. Saat ini sistem kapitalisme telah tumbuh menjadi kapitalisme monopoli / imperialisme yang telah memodifikasi kejahatannya dalam melakukan eksploitasi dan penghisapan pada bangsa-bangsa di dunia. Sehingga kita harus terang, dunia tidak lagi berada dalam jamannya “kapitalisme persaingan bebas”, tapi saat ini kapitalisme raksasa sudah mengambil peranan yang memonopoli dan teritori pembagian dunia telah terpetakan oleh imperialisme di bawah kekuasaan tunggal imperialisme AS.
            Pada akhirnya surplus produksi dan surplus kapital hanya bisa dinikmati oleh negeri imperialis terbesar yakni Amerika Serikat. Dalam situasi produksi dan kapital yang menumpuk di dalam negerinya, negeri imperialis anggota G-7 diberi hak eksklusif untuk mencetak “uang maya” yang diberi nama Quantitative Easing. Uang maya ini diterbitkan untuk membeli kembali obligasi negara yang menumpuk dan tidak laku di bank-bank besar monopoli miliknya. Kemudian uang maya ini disebarluaskan ke seluruh dunia dalam bentuk investasi dan utang melalui transaksi E-Money, cara ini dilakukan sehingga dapat dikontrol dan ditarik sewaktu-waktu. Maka terang sudah bahwa sistem keuangan dunia dikontrol penuh dan diintegrasikan sepenuhnya oleh Imperialis Amerika Serikat melalui IMF, Bank Sentral Dunia (BIS), dan bank sentral seluruh dunia yang sedang mempromosikan sistem transaksi elektronik atau E-Money.
            Perdagangan mata uang ini adalah upaya imperialisme untuk menciptakan “nilai baru” dan sangat spekulatif karena tanpa melalui proses produksi. Perdagangan mata uang ini berbeda dengan perdagangan komoditas (kapital) pada umumnya yang kongkrit. Jika sebelumnya penanaman kapital barang dan kapital utang (loan capital) adalah produk transaksi kongkrit yang dapat diprediksi nilai pembayarannya dalam tanggal jatuh tempo, sedangkan perdagangan mata uang adalah transaksi yang sangat spekulatif dan bisa melahirkan nilai baru dalam transaksinya dari detik ke detik. Aktivitas spekulasi finans yang jahat ini adalah skema baru imperialisme yang lebih ganas. Aktivitas ini dapat membangkrutkan negeri dalam sekejap dibandingkan dengan spekulasi keuangan lainnya.

Skema Politik Neo-liberal Imperialisme
Selain penguasaan dan dominasinya atas ekonomi dan militer. Imperialisme harus memuluskan jalannya dalam politik. Kebijakan neo-liberal adalah poros terakhir dari imperialisme AS untuk bisa mengintervensi dan melucuti seluruh negara di dunia. Kebangkrutan Keynessian memaksa imperialis untuk melahirkan kebijakan yang lebih menghisap lagi yaitu dilahirkannya skema neo-liberal di penghujung tahun 1960.
            Beragam pertemuan bilateral dan multilateral kerap dilakukan imperialis AS untuk memuluskan jalannya. Dimulai dari poros imperialis raksasa di forum G-7, lalu menebarkan pengaruhnya secara kuat dengan membentuk wadah konsolidasi “negara maju dan negara berkembang” di forum G-20, WTO, APEC, dan baru-baru ini telah diperkuat juga oleh adanya Trans-Pasific Partnership yang salah satunya Indonesia masuk di dalamnya. Di beberapa agenda pertemuan internasional tentunya menekankan untuk segera memuluskan “pasar bebas” dan mengintervensi setiap negara untuk mengikis hambatan-hambatan regulasi negara dari kedaulatannya atas sumber-sumber ekonomi. Istilah “pasar bebas” sebenarnya adalah ilusi yang menonjolkan kondisi di dunia seolah-olah kompetitif dan persaingan di antara para korporasi lokal dan korporasi asing sepadan. Padahal di eranya monopoli ini, pasar bebas adalah kebijakan yang tidak adil dan menguntungkan negara-negara imperialisme khususnya AS.
            Namun, imperialisme akan selalu kesulitan bila dihadapkan oleh kebijakan-kebijakan nasionalis yang diterapkan oleh suatu negara. Maka, imperialis akan selalu memprovokasi negara-negara berdaulat dan mengirim kaki-tangannya di dalam negeri untuk membuat huru-hara politik di tengah-tengah masyarakat dan merekrut klik-klik reaksioner yang siap untuk mendirikan pemerintahan boneka dari imperialisme.
            Perlahan-lahan, untuk memastikan berdirinya negara yang sepenuh-penuhnya mengabdi kepada kebijakan neo-liberal imperialisme. Sistem politik elektoral adalah wajah populer yang dijajakan oleh borjuasi untuk bisa menggandeng rakyat dalam mendukung pemerintahan di suatu negara. Skema politik elektoral ini dipromosikan oleh Amerika Serikat ke seluruh dunia. Beragam pemilihan pimpinan mulai dari tingkatan daerah sampai tingkatan pusat (presiden-wakil presiden) tentunya akan dilakukan. Hal ini untuk menutup wajah “fasis” di dalam pemerintahan sehingga tampak wujud demokratisnya di hadapan rakyat. Pilpres atau Pilkada merupakan skema populis yang dimanfaatkan oleh rakyat, seperti di Indonesia yang akan segera menyelenggarakan Pilkada serentak. Walaupun pada perkembangannya, rakyat akan menyadari bahwa sistem politik elektoral tetap akan melahirkan pimpinan yang anti terhadap klas buruh, kaum tani, serta seluruh elemen rakyat tertindas lainnya di dalam negeri. Karena biasanya, yang bisa mengakses kursi calon pimpinan di suatu negara hanyalah orang-orang yang memiliki banyak modal, seperti yang diwakili oleh pemodal-pemodal besar (komprador) dan tuan tanah besar.
            Sebagai penutup, dapat disimpulkan bahwa kondisi di dunia ini sedang timpang. Sistem kapitalisme monopoli / imperialisme pun semakin busuk karena penyakit yang diciptakan oleh dirinya sendiri. Untuk mempercepat kematiannya, hanya perjuangan klas buruh dan rakyat terhisap dan tertindas di seluruh dunia-lah yang dapat mengembannya, serta menyokong penuh kedaulatan bangsa-bangsa di dunia dalam meraih kemerdekaannya.

Jayalah Perjuangan Rakyat!! Long Live International Solidarity!!


*M. Vichi Fadhli R

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tiktok Shop vs Pasar Konvensional

Oleh : Moch Vichi Fadhli R. S.Pd., M.M.   Pasar Tanah Abang dan beberapa toko pakaian tradisional mulai sepi. Banyak para pedagang gulung tikar dan merasa dirugikan karena kehadiran platform social-commerce dan perang harga yang tidak sesuai dengan logika pasar. Lalu, pemerintah tengah ramai ditekan agar membuat kebijakan khusus untuk menutup platform Tiktok sebagai media ekonomi yang menghancurkan UMKM tradisional. Fenomena ini sebenarnya terjadi karena adanya gap antara attitude dan behavior , Carrington (2016) pernah meneliti persoalan ini secara kritis. Krisis ini terjadi ketika pasar sendiri yang menciptakan gap di antara pilihan cara berkonsumsi secara individualis dan ketersediaan pasar secara sistemik. Hal yang mendasari tersebut adalah bagian dari kontradiksi kapitalisme yang tidak pernah bisa berhenti menciptakan hasrat tak terpuaskan dan ekses konsumsi. Dari pernyataan ini muncul ketidaksesuaian antara hasrat dan perbuatan. Ketidaksiapan masyarakat dalam mengkonsumsi m

5 Kunci Rahasia Meningkatkan Omset Penjualan bagi Sales Kanvas

  Sejauh ini, banyak sales yang masih terkendala oleh hasil penjualannya karena tidak mencapai target.   Kalau di daerah yang kita kerjakan sama sekali mengalami fase stuck dan tidak berkembang. Maka kita harus cek atau periksa hal apa yang bikin hasil dari penjualan kita stagnan. Kalau kita sudah tau masalahnya, lalu kita bisa menciptakan solusi tersebut dari masalah yang kita miliki. Jika pencapaian omset diukur dari minggu ke minggu, Berikut ini kunci rahasia   omset penjualan agar meningkat :   1.  Bekerja berbasiskan data Banyak dari kita atau sebagai sales yang meremehkan data. Padahal data adalah faktor kunci kita dalam bekerja. Sayangnya banyak di antara kita yang berfokus pada aktivitas lapangan tapi lemah dalam soal data. Dapat dikatakan bekerja terkait data erat kaitannya dengan tim administrasi atau supervisor, karena hanya mereka yang memiliki keleluasaan dalam mengakses data. Padahal bagi seorang sales, jika bekerja berdasarkan data maka seorang sales di lapangan da

Skema Pemberangusan Demokrasi Kampus

Menyikapi Peraturan Disiplin Mahasiswa UPI 2013 Oleh : Moch. Vichi Fadhli R             Pemuda dan mahasiswa semakin dihadapkan pada ketidakpastian arah dan cenderung terjerambab dalam jurang semu dunia pendidikan kekinian. Hal ini semakin tampak, dalam melihati situasi nasional yang begitu bergejolak, dengan upaya liberalisasi di tubuh pendidikan yang pada akhirnya berimbas pada melonjaknya biaya pendidikan, komersialisasi pendidikan, hilangnya akses rakyat untuk mengenyam Pendidikan Tinggi (PT), juga diskriminasi terhadap rakyat dalam mengakes bangku pendidikan.             Dalam hal ini tentunya secara alamiah akan menumbuhkan gejolak protes masyarakat lewat berbagai aksi karena abainya pemerintah dalam melakukan pencerdasan terhadap seluruh rakyat Indonesia. Khususnya pemuda dan mahasiswa sebagai warga kampus yang turut secara langsung merasakan mahalnya harga kuliah sehingga akan timbul secara sendirinya gejolak massa dalam berekspresi, juga berpendapat dalam berbagai