Dalam perkembangan situasi
ekonomi-politik dunia, sekaratnya Imperialisme adalah kenyataan yang tidak lagi
terbantahkan. Hingga saat ini, imperialisme sebagai tahapan puncak dari sistem
kapitalisme di dunia, sudah menebarkan bau busuk bagi massa rakyat di berbagai
belahan dunia. Namun, di tengah sakitnya yang kronis, dengan tanpa malu
Imperialisme akan semakin melepaskan topeng manisnya. Wajah “demokrasi borjuasi
liberal” yang diproduksi oleh kapitalisme monopoli merupakan bedak dan gincu
pemanis di hadapan rakyat. Imperialisme akan menunjukan dirinya dalam wujud
yang paling bengis “Kediktaturan Fasis Borjuasi Besar Monopoli” berupa
tindasan-tindasan terbuka dan barbar di hadapan bangsa-bangsa dan rakyat dunia.
Tidak ada yang bisa menyembuhkan krisis,
mereka hanya mencari cara untuk memperpanjang nafasnya. Upaya imperialisme
untuk bertahan hidup dilakukan dengan membagikan beban krisisnya dengan cara
mengirimkan operasi kapital finansnya yang menumpuk. Sasarannya pada negara
kapitalis kecil dan negara Setengah Jajahan Setengah Feodal (SJSF) seluruh
dunia melalui kebijakan neo-liberal. Klas borjuasi besar monopoli AS dan Eropa
semakin didera frustasi yang begitu dalam buah dari krisis yang diakibatkan
oleh dirinya sendiri, seperti yang menimpa pada kebijakan Program Austerity di
Yunani, Italia, Portugal, dan Spanyol, serta yang menimpa beberapa negara
kapitalis bergantung lainnya.
Selain negara kapitalis, pada situasi
krisis seperti ini, negara SJSF adalah client
yang paling empuk bagi Imperialisme guna menambal borok krisisnya dari
super-profit. Imbas dari ini semua, bentuk penindasan dan penghisapan dua kali
lipat dirasakan oleh klas buruh di pabrik-pabrik dan kaum tani di pedesaan. Kerja
produksi dari klas buruh dan rakyat pekerja seluruh dunia yang lebih
eksploitatif telah menciptakan “nilai lebih” baru bagi Borjuasi Besar Monopoli
dan klas-klas reaksioner dalam negeri.
Dinamika sesama negara imperialisme itu
sendiri terus bergerak dan penuh intrik. Pergolakan dari krisis tentunya tidak
bisa menghindarkan diri dari konsekuensi pertentangan antar negara imperialis.
Salah satunya dibuktikan dari keputusan Rusia untuk keluar dari forum G-8
semenjak krisis di Ukraina tahun 2014. Hal ini juga yang memaksa AS untuk
kembali mengontrol dan menarik kembali konsolidasi yang lebih solid bagi
negara-negara G-7 (Amerika Serikat-Kanada, Jerman, Inggris, Perancis, Italia,
dan Jepang). Upaya yang dilakukan tentunya untuk meredam derajat pertentangan
sesama imperialisme. Namun, tajamnya pertentangan antar negara imperialis dan
antar klas reaksioner di AS dan Eropa belum diikuti secara setimpal oleh
kenaikan klas buruh dan rakyat tertindas dalam melawan imperialisme.
Imperialisme bisa saja menciptakan
sejarah baru Perang Dunia Ketiga oleh karena semakin tajamnya pertentangan
antar negara imperialis, namun itu hanya bisa terjadi ketika perimbangan
kekuatan Imperialisme secara ekonomi dan militer sepadan. Kenyataan saat ini,
monopoli kekuatan berada di tubuh Imperialisme AS dan belum ada yang dapat
menandinginya. Imperialisme Amerika Serikat selalu mampu mengatasi persaingan
antar negara-negara imperialis agar tetap timpang. AS juga selalu bisa mencegah
adanya potensi kebangkitan secara ekonomi dan militer dari negara imperialis
lain.
Dalam segi militer, upaya penguatan
aliansi militer U.S-NATO dijalankan di seluruh benua, dan beberapa upaya
politik isolasi terhadap Rusia dilakukan untuk menjaga stabilitas persaingan
imperialisme agar tetap di bawah kepemimpinan tunggal Imperialisme AS.
Sedangkan di Asia, Amerika Serikat memperkuat kerjasama militer dengan Jepang
untuk memperkuat dominasi AS di Asia. AS memperkuat hubungan dengan Jepang
ditandai dengan US-Japan Defense Cooperation. Kerjasama ini melahirkan
mekanisme kordinasi aliansi di bidang militer untuk menggabungkan 2 kekuatan
utama di Asia Pasifik, terutama untuk menghadang laju kekuatan ketiga dunia
yang sedang tumbuh yakni Tiongkok, serta membendung Korea Utara dan Rusia.
Amerika Serikat dan Eropa masih
memobilisasi kekuatan dan dukungan dalam negerinya untuk melancarkan perang
agresi dan intervensi di seluruh dunia. Saat ini, sasaran dari operasi agresi
adalah melancarkan perang di Afganistan, Iraq, Syria, dan Libya. Lebih liciknya
AS kerap melakukan rekrutmen tentara regulernya dan mengisi basis militernya
dari pemuda-pemuda pengangguran yang berlimpah di negerinya sendiri. Seperti
yang sedang terjadi saat ini, gejolak
panas sengaja diciptakan melalui kelompok teroris dengan kedok fundamentalisme
Islam “ISIS”. AS sengaja mempromosikan skenario teroris ciptaannya “ISIS” untuk
melumpuhkan negeri Syria dan Iraq tanpa terlihat batang hidung AS. Kepentingan
dari klas Borjuasi Monopoli AS tentunya sebagai upaya melemahkan dan bentuk
destabilisasi negara-negara Asia Barat sehingga melahirkan krisis politik di
dalam negerinya. Krisis politik menjadi prasyarat Imperialisme AS untuk membuka
jalannya dalam mendirikan pemerintahan boneka dan membuka syarat legitimasi AS
dalam penguasaan kawasan jalur pipa minyak.
Sama seperti beberapa tahun ke belakang
dengan fenomena Arab Spring yang memantik tumbuhnya gerakan-gerakan rakyat di
Asia. Krisis dan Perang adalah anak kandung dari sistem Kapitalisme Monopoli
itu sendiri. Dan Imperialisme AS adalah dalang kejahatan dibalik semua aksi
terorisme berkedok fundamentalisme agama yang ditandai dengan kemunculan ISIS.
Hal tersebut bahkan diakui oleh Hillary Clinton bahwa ISIS adalah kelompok yang
didanai dan dilatih oleh Amerika Serikat untuk menebarkan terror dan provokasi
di Asia, khususnya di Suriah, Iraq, dan Yaman. Bahkan baru-baru ini, serangan
terror bom dan penembakan sudah menghujam jantung kota Paris di Perancis,
akibatnya 127 korban jiwa meninggal dan 200 korban luka-luka, hal ini menyulut
Pemerintahan Perancis untuk mengobarkan aksi balasan terhadap terorisme. Jelas,
Imperialisme AS akan sangat diuntungkan dari situasi ini, selain destabilisasi
politik di dalam negeri Perancis, hal ini juga akan meningkatkan penjualan
persenjataan yang over-produksi di dalam negeri imperialis AS.
Lalu pertanyaannya bagaimana
Imperialisme mengambil peran di negara SJSF dan negara kapitalis yang lemah?
Negara setengah jajahan setengah feodal dan negara kapitalis lemah adalah alat
klas borjuasi besar monopoli di negara imperialis yang dikontrol melalui
pemerintahan boneka dan klas-klas reaksioner lokal untuk menghapus
bentuk-bentuk kedaulatan dalam negeri. Mereka biasanya berperan sebagai agen
keuangan, finansial, manufaktur, dan perdagangan melalui Borjuasi Besar
Komprador (Borjuasi kaki tangan Imperialisme) dan Tuan Tanah besar. Berbagai
kebijakan yang dilakukan juga mendorong ekspor kapital produktif (investasi),
kapital utang (loan capital), pemberian dana dalam wajah “bantuan sosial”, dan
pendirian basis militer.
Operasi Oligarki
Finansial oleh Imperialisme
Oligarki finansial merupakan cara dari Imperialisme
menjalankan roda ekonominya dengan perkembangan bentuk yang paling mutakhir.
Klas borjuasi besar memakai skema oligarki finansial dengan menggunakan
institusi keuangan monopoli internasional yang biasa dikenal dengan istilah
“Bretton Wood” yaitu IMF, Bank Dunia, Bank Sentral Dunia (Bank of International
Settlement-BIS), Bank Sentral Amerika Serikat (Federal Reserves), Bank Sentral
Uni Eropa (Europan Central Bank-ECB), dan Bank Sentral di negeri imperialis G-7.
Institusi
keuangan tersebut memegang peranan yang luar biasa dalam sistem kapitalisme
monopoli internasional bersama-sama dengan industri besar pertambangan,
manufaktur, perdagangan, transportasi, persenjataan, telekomunikasi, dan lain
sebagainya. Oligarki finans “Bretton Wood” tersebut mendominasi produksi,
perdagangan, dan jasa di seluruh dunia. Mereka juga memproduksi mata uang
melampaui seluruh produksi komoditas, perdagangan, dan jasa yang dibuatnya lalu
menyebarkannya ke seluruh dunia. Hasil transaksi ekspor dan impor yang
disebarkan ke seluruh negeri akan kembali disedot olehnya dalam bentuk cadangan
devisa (Currency Reserves).
Skema
ini dilakukan sebagai bentuk penghisapan “nilai lebih” secara tidak langsung.
Oligarki finansial selalu mendikte kebijakan ekonomi-politik yang diambil oleh
seluruh negara di dunia agar “menciptakan defisit neraca ekspor-impor” dan
“defisit anggaran belanja negara”. Keadaan yang serba defisit dari seluruh
negara akan menjadi pintu masuk bagi investasi dan utang imperialis lewat bentuk Surat Utang Negara
(SUN) atau Obligasi yang mengaburkan seluruh hasil kerja klas buruh dan kaum
tani di negerinya. Seluruh aset negara, korporasi lokal, dan seluruh produksi
rakyat dijadikan objek spekulasi finansial berkedok investasi melalui pasar
uang, pasar obligasi, dan bursa saham.
Di
tengah situasi krisis yang mencekik, imperialis pun menyadari bahwa mereka
harus membayar lebih mahal ongkos ekspansi dan kerugian yang menimpa di dalam
industrinya. Mereka menyadari bahwa nilai jual produksinya tidak sebanding
dengan daya beli bangsa dan rakyat di seluruh dunia. Produksi komoditas semakin
anarkis, jumlah barang semakin menumpuk, dan hasil produksinya semakin tidak
ada sangkut pautnya untuk memenuhi keperluan hidup rakyat dunia. Akan tetapi
mereka tetap harus melanjutkan produksi kapitalisnya (meski anarkis). Oleh
karena itu, mereka berlari untuk memainkan “kapital finans” agar tetap menjaga
“penghisapan nilai” dan memanipulasi skema surat-surat berharga. Dengan cara
yang sama oligarki finans melahirkan ilusi “kebutuhan” kapital ke seluruh
dunia. Negara di seluruh dunia seolah-olah membutuhkan suntikan kapital dari
negara-negara maju (imperialis besar). Dari sinilah Imperialis dapat
mengendalikan suku bunga agar bisa memudahkan pemberian kredit besar-besaran
kepada para client-nya. Suku bunga
sengaja ditekan kecil agar semakin besar kredit yang dikucurkan. Meskipun pada
akhirnya hutang tidak dapat dibayar oleh negara client, peran IMF dan sekutunya adalah memberikan utang baru untuk
bisa membayar utang yang lama, seperti kasus krisis di Yunani, Spanyol, dan
Portugal. Dari sinilah letak strategis institusi keuangan monopoli “Bretton
Wood” mengambil peranannya yang jahanam untuk melindungi kepentingan klasnya.
Ekspor
kapital finans imperialis raksasa mengerangkeng negara kapitalis lemah. Kita
sadari, negara kapitalis kecil saja sebenarnya masih menghisap dan menindas
klas buruh di dalam negerinya, kini ia dipaksa untuk tidak berdaya menciptakan
kapital di dalam negerinya dan harus bergantung pada skema imperialisme seperti
AS. Dampak pahit yang dirasakan dua kali lipat tentunya adalah klas buruh,
mereka harus dipaksa untuk ditekan upahnya semurah mungkin dan dihadapkan oleh
kebijakan PHK massal oleh kapitalis-kapitalis yang mengalami kebangkrutan di
dalam negerinya.
Sesungguhnya,
negara setengah jajahan setengah feodal (SJSF) lah yang menderita dampak krisis
yang paling parah. Komoditas pertanian dan pertambangan negara SJSF berada
dalam cengkeraman spekulasi keuangan di bursa pasar Imperialisme. Beban krisis
imperialis nyatanya menumpuk di pundak rakyat tertindas dan terhisap di negeri
setengah jajahan setengah feodal. Di negara non-industrial terbelakang,
pembangunan infrastruktur adalah penyelamat kapital-finans imperialis yang
terancam membusuk. Proyek infrastruktur dapat membantu imperialis meraih
super-profit yang disedot dari hasil eksploitasi tenaga kerja dan kekayaan alam
(bahan mentah) murah di dalam negeri. Pada dasarnya, pembangunan hotel, komplek
real-estate, apartemen, komplek industri, jalan tol, waduk, bendungan, lapangan
udara, dan taman nasional sekalipun tidak memiliki peranan dalam memajukan
keadaan massa. Ini adalah ilusi yang dibuat di negeri setengah jajahan setengah
feodal. Konsentrasi utama negara SJSF adalah membangun properti dan
infrastruktur. Pemerintah memolesnya seperti “menyulap wajah negeri-negeri
terbelakang” agar nampak maju. Padahal sebenarnya pembangunan tersebut
bersandarkan pada investasi dan utang. Tampak seperti gagah di luar, tapi
sebenarnya rapuh dan mematikan keuangan dalam negeri. Sementara pemerintahan
boneka di negara SJSF bisa dengan mudah memanipulasi pertumbuhan ekonomi.
Seperti di Indonesia, pertumbuhan ekonomi justru didasarkan dalam skala ekonomi
makro atas meningkatnya investasi dan utang luar negeri. Pertumbuhan ekonomi
ini tidak didasarkan pada pendapatan riil masyarakat.
Perjuangan
klas dan gerakan rakyat tertindas di seluruh dunia harus cermat memandang
secara dialektis situasi objektifnya. Terdapat ilusi dari teori yang mengatakan
bahwa kapitalisme monopoli atau imperialisme bisa menjadikan negeri dan
masyarakat dunia bergerak maju, mengubah negeri agraris menjadi negeri
kapitalis; menyebarkan sistem produksi, pengetahuan, dan membawa maju teknologi
nasional. Itu semua adalah ilusi yang menyesatkan. Anggapan tersebut mengikuti
cara berpikir bahwa imperialisme dengan sendirinya akan menghancurkan
feodalisme di suatu negara. Pandangan ini bersandar dari teori Karl Kautsky
(seorang pemimpin Revisionisme Klasik) yang menyatakan bahwa “praktek
imperialisme akan mendorong internasionalisasi produksi kapitalisme”. Tapi kita
semua harus berangkat dari kenyataan, sistem feodalisme dalam bentuk yang tidak
utuh (sisa feodalisme) justru masih eksis di negara-negara berkembang dan
miskin (SJSF). Corak produksi agraria terbelakang justru tetap dipertahankan
dan menjadi sandaran imperialisme dalam menyedot bahan mentah dan tenaga kerja
yang sangat murah. Benar, bahwa Imperialisme masih mewarisi sifat inheren dalam
sistem ekonomi kapitalis. Akan tetapi imperialisme adalah kapitalisme yang
sudah kehilangan seluruh sifat progresifnya dalam menghancurkan sistem ekonomi
feodal. Jelas, bahwa kapitalisme yang progresif sudah lapuk dan habis. Tak ada
lagi kapitalisme yang dapat menghancurkan sistem feodal. Saat ini sistem
kapitalisme telah tumbuh menjadi kapitalisme monopoli / imperialisme yang telah
memodifikasi kejahatannya dalam melakukan eksploitasi dan penghisapan pada
bangsa-bangsa di dunia. Sehingga kita harus terang, dunia tidak lagi berada dalam
jamannya “kapitalisme persaingan bebas”, tapi saat ini kapitalisme raksasa
sudah mengambil peranan yang memonopoli dan teritori pembagian dunia telah
terpetakan oleh imperialisme di bawah kekuasaan tunggal imperialisme AS.
Pada
akhirnya surplus produksi dan surplus kapital hanya bisa dinikmati oleh negeri
imperialis terbesar yakni Amerika Serikat. Dalam situasi produksi dan kapital
yang menumpuk di dalam negerinya, negeri imperialis anggota G-7 diberi hak
eksklusif untuk mencetak “uang maya” yang diberi nama Quantitative Easing. Uang
maya ini diterbitkan untuk membeli kembali obligasi negara yang menumpuk dan
tidak laku di bank-bank besar monopoli miliknya. Kemudian uang maya ini
disebarluaskan ke seluruh dunia dalam bentuk investasi dan utang melalui transaksi
E-Money,
cara ini dilakukan sehingga dapat dikontrol dan ditarik sewaktu-waktu. Maka
terang sudah bahwa sistem keuangan dunia dikontrol penuh dan diintegrasikan
sepenuhnya oleh Imperialis Amerika Serikat melalui IMF, Bank Sentral Dunia
(BIS), dan bank sentral seluruh dunia yang sedang mempromosikan sistem
transaksi elektronik atau E-Money.
Perdagangan
mata uang ini adalah upaya imperialisme untuk menciptakan “nilai baru” dan
sangat spekulatif karena tanpa melalui proses produksi. Perdagangan mata uang
ini berbeda dengan perdagangan komoditas (kapital) pada umumnya yang kongkrit. Jika
sebelumnya penanaman kapital barang dan kapital utang (loan capital) adalah
produk transaksi kongkrit yang dapat diprediksi nilai pembayarannya dalam
tanggal jatuh tempo, sedangkan perdagangan mata uang adalah transaksi yang
sangat spekulatif dan bisa melahirkan nilai baru dalam transaksinya dari detik
ke detik. Aktivitas spekulasi finans yang jahat ini adalah skema baru
imperialisme yang lebih ganas. Aktivitas ini dapat membangkrutkan negeri dalam
sekejap dibandingkan dengan spekulasi keuangan lainnya.
Skema Politik
Neo-liberal Imperialisme
Selain penguasaan dan dominasinya atas ekonomi dan
militer. Imperialisme harus memuluskan jalannya dalam politik. Kebijakan
neo-liberal adalah poros terakhir dari imperialisme AS untuk bisa
mengintervensi dan melucuti seluruh negara di dunia. Kebangkrutan Keynessian memaksa imperialis untuk melahirkan
kebijakan yang lebih menghisap lagi yaitu dilahirkannya skema neo-liberal di
penghujung tahun 1960.
Beragam
pertemuan bilateral dan multilateral kerap dilakukan imperialis AS untuk
memuluskan jalannya. Dimulai dari poros imperialis raksasa di forum G-7, lalu
menebarkan pengaruhnya secara kuat dengan membentuk wadah konsolidasi “negara
maju dan negara berkembang” di forum G-20, WTO, APEC, dan baru-baru ini telah
diperkuat juga oleh adanya Trans-Pasific Partnership yang salah satunya
Indonesia masuk di dalamnya. Di beberapa agenda pertemuan internasional
tentunya menekankan untuk segera memuluskan “pasar bebas” dan mengintervensi
setiap negara untuk mengikis hambatan-hambatan regulasi negara dari
kedaulatannya atas sumber-sumber ekonomi. Istilah “pasar bebas” sebenarnya
adalah ilusi yang menonjolkan kondisi di dunia seolah-olah kompetitif dan
persaingan di antara para korporasi lokal dan korporasi asing sepadan. Padahal
di eranya monopoli ini, pasar bebas adalah kebijakan yang tidak adil dan
menguntungkan negara-negara imperialisme khususnya AS.
Namun,
imperialisme akan selalu kesulitan bila dihadapkan oleh kebijakan-kebijakan
nasionalis yang diterapkan oleh suatu negara. Maka, imperialis akan selalu
memprovokasi negara-negara berdaulat dan mengirim kaki-tangannya di dalam
negeri untuk membuat huru-hara politik di tengah-tengah masyarakat dan merekrut
klik-klik reaksioner yang siap untuk mendirikan pemerintahan boneka dari
imperialisme.
Perlahan-lahan,
untuk memastikan berdirinya negara yang sepenuh-penuhnya mengabdi kepada
kebijakan neo-liberal imperialisme. Sistem politik elektoral adalah wajah
populer yang dijajakan oleh borjuasi untuk bisa menggandeng rakyat dalam
mendukung pemerintahan di suatu negara. Skema politik elektoral ini
dipromosikan oleh Amerika Serikat ke seluruh dunia. Beragam pemilihan pimpinan
mulai dari tingkatan daerah sampai tingkatan pusat (presiden-wakil presiden)
tentunya akan dilakukan. Hal ini untuk menutup wajah “fasis” di dalam
pemerintahan sehingga tampak wujud demokratisnya di hadapan rakyat. Pilpres
atau Pilkada merupakan skema populis yang dimanfaatkan oleh rakyat, seperti di
Indonesia yang akan segera menyelenggarakan Pilkada serentak. Walaupun pada
perkembangannya, rakyat akan menyadari bahwa sistem politik elektoral tetap
akan melahirkan pimpinan yang anti terhadap klas buruh, kaum tani, serta
seluruh elemen rakyat tertindas lainnya di dalam negeri. Karena biasanya, yang
bisa mengakses kursi calon pimpinan di suatu negara hanyalah orang-orang yang
memiliki banyak modal, seperti yang diwakili oleh pemodal-pemodal besar
(komprador) dan tuan tanah besar.
Sebagai
penutup, dapat disimpulkan bahwa kondisi di dunia ini sedang timpang. Sistem
kapitalisme monopoli / imperialisme pun semakin busuk karena penyakit yang
diciptakan oleh dirinya sendiri. Untuk mempercepat kematiannya, hanya
perjuangan klas buruh dan rakyat terhisap dan tertindas di seluruh dunia-lah
yang dapat mengembannya, serta menyokong penuh kedaulatan bangsa-bangsa di
dunia dalam meraih kemerdekaannya.
Jayalah
Perjuangan Rakyat!! Long Live International Solidarity!!
*M. Vichi Fadhli
R
Komentar
Posting Komentar