Kawan-kawan yang dicintai oleh massa. Sudah cukup panjang perjalanan kita dalam berjuang bersama. Tak terbersit dari kita untuk menyatakan lelah dalam perjuangan ini. Tapi tentu, secara khusus, ada pula beberapa kawan yang terputus di tengah jalan, dan tidak melanjutkan arena perjuangan ini. Hal ini bisa terjadi, oleh karena kehendak subjektif dari setiap individu dengan berbagai alasan taktis maupun alasan yang sifatnya prinsipil dari setiap individu. Dari sini lah arti penting bahwa kita mesti membuka perhatian yang lebih dan memeriksa kenyataan tersebut bukan menjadi hal yang sepele.
Ada hal-hal yang luput dari diri
kita. Di samping suara-suara yang begitu tinggi kita lantangkan pada
musuh-musuh kita, banyak diskusi-diskusi dengan hal-hal yang besar (tolak
komersialisasi pendidikan, dll), vocal-vokal yang sangat nyaring dalam berdebat
(anti imperialisme, feodalisme dan kapitalis birokrat) dan gairah militansi
dalam demonstrasi. Kita terlampau asyik dengan itu tanpa pernah tahu kita
meninggalkan hal kecil yang sebenarnya jika diterlantarkan akan menjadi sakit
yang sangat kronis pada diri kita semua.
Di tengah lapang kita bak seperti
macan yang ganas, yang selalu geram untuk menerkam musuh-musuh kita. Tapi ketika
kembali di dalam sangkar, beberapa diantara kita mengidap penyakit, menular,
dan bahkan yang terparah dapat memecah belah kekuatan dan merusak organisasi.
Oleh karenanya dalam situasi dan
ruang tertentu, musuh terbesar kita tidak hanya terletak pada borjuasi
komprador, tuan tanah, beserta imperialisme. Melainkan musuh terbesar kita
sejatinya ada di dalam diri kita sendiri. Menyelinap di sudut-sudut diri kita, mengendap-ngendap,
kadang tidak tampak. namun dapat mematikan diri kita, organisasi, dan perjuangan.
Apakah musuh yang sekaligus penyakit dari kita itu? Ia adalah Subjektifisme.
Subjektifisme sebenarnya sesuatu
masalah yang tidak asing dalam dunia gerakan. Bahkan sejarah gerakan
Internasional pun tidak sedikit dihinggap oleh penyakit ini yang mempengaruhi
arus sejarah peradaban masyarakat, serta narasi-narasi besar terkait kegagalan gerakan
massa di beberapa Negara bagian di dunia. Oleh karenanya penting kiranya untuk
kita bisa bersama-sama memahami persoalan subjektifisme ini sebagai pangkal
rontoknya gerakan perjuangan dan individu-individu dalam tubuh organisasi.
Salah satu ciri penting diri kita
dalam suatu gerakan dengan hari depan yang anti imperialisme dan hancurnya
feodalisme di dalam negeri adalah dengan memegang disiplin yang kuat di tiga
lapangan penting; yakni ideologi, politik, dan organisasi. Karena banyak dari
kalangan kita, mahasiswa, yang berkedudukan sebagai borjuis kecil gagal
menyatukan persoalan ini secara utuh. Keterbatasan teori serta mental dari
seorang borjuis kecil bukanlah hal yang aneh dikarenakan oleh pendidikan,
propaganda, serta gaya hidup yang rutin dalam tradisi sistem nilai-nilai
borjuis.
Banyak dari kita yang asyik
dengan teorinya sendiri-sendiri, meski teori itu progresif atau mungkin disebut
revolusioner. Tapi hanya dikonsumsi
secara individual dan dipendam sebagai teori belaka. Tanpa di objektifkan
bersama kolektif dan massa, serta tidak diuji dalam praktek. Penyakit ini lah
yang disebut sebagai orang yang gemar membual dengan wacana di dalam tataran
teori atau ideologi, yang belum tentu sesuai dengan situasi objektifnya. Begitu
pun dalam ranah politik, banyak diantara aktivis sosial yang keranjingan dengan
aktivisme kampus atau aktivisme organisasi di jalanan tapi tanpa perspektif
politik dan garis perjuangan yang tegas dan terang. Kadang secara tidak sadar
orientasinya adalah heroisme yang tinggi dan menunjukan watak asli dari borjuis
kecilnya. Inilah kesalahan di bidang praktek.
Penting kita untuk dapat
menyelaraskan teori dan praktek dalam satu kesatuan yang tidak bisa
terpisahkan. Karena rumusan dari teori yang tepat akan diturunkan dalam garis
politik (program perjuangan dan rencana aksi) sebagai pedoman jalannya
organisasi dan tindakan-tindakan taktikal organisasi. Kesemua ini menuntut
dalam kesatuan pandangan dan disiplin ketat dalam tindakan. Karena, lemah di
salah satu bidang, tidak bisa lepas dari lemahnya di bidang yang lain. Suatu
pandangan atau tindakan liberal dalam organisasi, tidak bisa lepas pula dari
kelemahan teoritis atau ideologis. Seperti sikap oportunisme politik bisa
terjadi karena kelemahan teori yang kita miliki serta kesalahan kelonggaran
organisasi. Hal-hal seperti inilah yang menjadi perhatian kita sekarang, dalam
membangun tradisi gerakan massa yang kuat serta menghancurkan penyakit dan kesalahan-kesalahan
subjektifisme. Jika kita memegang materialisme dialektika sebagai metode ilmiah
untuk membongkar cara berpikir dan
bertindak yang keliru serta menangkap realitas yang objektif. Tentunya kita
dapat memblejeti kekeliruan subjektifisme di tiga lapangan (ideologi, politik,
dan organisasi).
Subjektifisme di bidang Ideologi
a.
Dogmatisme,
secara umum dogmatisme adalah pandangan yang membuta tanpa dasar kebenaran
ilmiah yang sesuai dengan kenyataan objektif. Namun pandangan ini menghilangkan
arti penting praktek dalam menguji ide-ide yang diterimanya. Seseorang
cenderung memahami secara beku dalam menerima suatu pengertian, menganggap
suatu pandangan sebagai barang jadi dan terberi. Dalam lingkaran kita sebagai
mahasiswa marak sekali terjadi, terlebih lagi kedudukan kita sebagai aktivis
borjuis kecil. Mereka yang terlampau
banyak membaca teori, tetapi kurang melakukan praktek atau melakukan
penyelidikan keadaan sosial berpotensi terkena penyakit dogmatisme ini.
Misalnya, ketika kita banyak baca teori tentang dampak kapitalisme pada rakyat,
lalu kita mengajak massa untuk melawan kapitalisme sebagai sasaran pukul
utamanya, padahal kita tengah berada di pedesaan yang sistem sosialnya masih
feodal dan belum ada simpul kapitalisme di dalam desa tersebut. Disinilah letak
kesalahannya dan tidak cukup objektif untuk bisa membawa massa maju. Perjuangan
ini akan selalu mengalami kegagalan karena kesalahan dogmatisme.
b.
Emprisisme,
pandangan ini yang menempatkan pengalaman inderawi sebagai basis utama dari
lahirnya pengetahuan. Artinya ia hanya mempercayai suatu hal ketika ia
mengalami secara inderawi pengalaman praktek dirinya. Seseorang yang mengidap
empirisisme cenderung menitikberatkan pengalaman sendiri tapi tanpa menimba
pengalaman praktek di luar yang lebih maju. Seperti misalnya, di suatu kampus, kita
mengalami situasi pendidikan yang sangat keras dan militeristik di kampus, dari
sana kita menyimpulkan secara umum bahwa pendidikan adalah tidak terlepas dari
persoalan kekerasan dan militeristik. Dan menganggap secara
umum/men-generalisasi di kampus-kampus lain pun bahwa pendidikan sebenarnya
alat kekerasan yang diciptakan untuk mahasiswanya, dan itu dijadikan bahan
propaganda kita secara umum. Inilah sesat berpikir kita dalam menganalisa
keadaan sosial secara kekhususan dan keumuman.
c.
Revisionisme,
pandangan ini hanya hendak untuk merevisi atau mengoreksi suatu pandangan
dalam hukum dan sistem yang berlaku. Artinya mereka mempercayai akan tercipta
suatu tatanan masyarakat yang lebih baik lewat perjuangan yang sifatnya
reformis dalam batasan kaki langit Imperialisme dan feodalisme. Perjuangan yang
dimanifestasikannya hanyalah tambal-sulam di atas sistem lama yang usang.
Mereka yang terjebak dalam revisionisme hanya memperbaiki keburukan-keburukan
yang dihasilkan dari sistem lama tapi tanpa berniat menghancurkan sistem lama
itu sendiri yang berkarakter setengah jajahan setengah feodal.
d.
Eklektisisme
(sinkretisme), pandangan ini merupakan aliansi berpikir dari
pencampuradukan berbagai macam disiplin teori dan filsafat. Misalnya Terkadang
seseorang mencampur adukan filsafat barat dan filsafat timur untuk dijadikan satu
pedoman berpikir dia. Padahal, dia telah menghilangkan prinsip-prinsip utama
salah satu pedoman berpikirnya. Teori-teori yang diusungnya pada akhirnya bersifat
kacau-balau. Dia tidak akan utuh, dangkal, dan tidak ilmiah. Misalnya, banyak
yang memakai afinitas teori marxisme yang coba dikolaborasikan dengan filsafat
yang berlawanan (idealisme) sebagai aliansi sistem berpikir. Pada akhirnya
banyak teori-teori marxisme yang tumpul, dan kehilangan prinsip-prinsip
revolusionernya.
Subjektifisme di bidang Politik
a.
Oportunisme
kanan, dalam pengertian gerakan proletar, pandangan oportunisme kanan
adalah pandangan yang terlalu membesar-besarkan kekuatan musuh, mengecilkan
kekuatan sendiri. Pada akhirnya pandangan dan tindakannya cenderung kompromis
tanpa prinsip, karena menganggap kita tak mampu melakukan apa-apa lagi dan
lebih bersifat melunak dalam melihat berbagai kebijakan-kebijakan yang
menindas. Faktor-faktor luar adalah menjadi gantungan hidup gerakan, dari sini
ketika menjadi suatu tindakan politik tentunya memiliki derajat subjektifisme
yang tinggi, terutama dalam jajaran pimpinan organisasi.
b.
Oportunisme
kiri, bila oportunisme kanan adalah paham dan tindakan yang cenderung
kompromis tanpa prinsip, maka sebaliknya pada kelompok/individu yang mengalami
oportunisme kiri, yaitu segala pandangan dan tindakannya radikal tanpa prinsip.
Pandangan ini bisa muncul dari ketidaksabaran dalam menempuh praktek perjuangan
massa yang panjang, menganggap musuh terlampau kecil dan menganggap kekuatan
sendiri sudah besar dan kuat. Pada akhirnya, radikal tanpa prinsip ini membawa
pada kemunduran itu sendiri. Yang justru akan menguntungkan musuh dalam membuat
skema kebijakan yang anti rakyat.
Subjektifisme di bidang Organisasi
a.
Liberalisme,
inilah yang sering dan marak terjadi di tengah-tengah kita. Pada umumnya,
liberalisme adalah suatu pandangan dan tindakan yang menghendaki kebebasan
tanpa prinsip, yakni menomorsatukan kepentingan pribadi dan menomorduakan
kepentingan kolektif dan massa. Pandangan yang terlampau liberal justru
menjauhkan diri dari massa itu sendiri, mereka asyik dengan jalan pikirannya
sendiri tapi tidak melihat objektivitas dari suatu pandangan dirinya tersebut.
Pada hakikatnya, liberalisme adalah egoisme borjuis kecil yang memanifestasikan
kebebasan individual atas nama demokrasi. Begitu pun liberal dalam segi
bertindak sebagai manusia. Hal ini tidak dapat dipungkiri ketika kita masih
hidup di alam setengah jajahan setengah feodal, yang masih melanggengkan
feodalisme di dalam negeri sebagai sistem sosial yang terbelakang. Feodalisme sebagai
sistem sosial selalu akan memproduksi kebudayaan yang terbelakang terhadap
rakyatnya. Manifestasi dari kebudayaan yang terbelakang adalah pola pikir
sempit, anti ilmiah, bertindak spontan tanpa pertimbangan, hal-hal inilah yang
sehingga menciptakan kejahatan kriminal, asusila, dll. Suatu pandangan dan
tindakan liberal pada hakikatnya lahir dari tradisi gaya hidup, sistem dan
nilai-nilai borjuis pada masyarakat. Secara objektif, seseorang yang
mengaku-ngaku aktivis, tetapi liberal dalam segi pandangan dan tindakan justru
memainkan peranan yang menguntungkan musuh. Mereka akan disambut gembira oleh
musuh-musuh rakyat karena sejatinya liberalisme memang berakar dari kelas
borjuis. Suatu penyakit liberalisme juga akan memecah belah kekuatan massa
bahkan menghancurkan organisasi bila tidak kita perangi.Dalam memerangi
penyakit ini, sejatinya kita secara pribadi mesti memulai membiasakan diri
bersikap jujur dan terbuka terhadap kolektif, dan kita membuka diri dengan
rendah hati siap dikritik oleh kolektif, menundukan kepentingan pribadi untuk
kepentingan kolektif dan massa. Selain itu organisasi harus menjalankan sistem
dengan disiplin yang ketat. Sistem yang ketat dengan berbagai pendidikan dan
propaganda yang intensif akan mengantisipasi individu-individu dari praktek
subjektifisme ini.
b.
Sektarianisme,
dalam lingkup organisasi
sektarianisme adalah hasil dari praktek seseorang yang mengucilkan diri dari
gerakan massa dan berlaku sebagai sekte kecil, suatu penyakit ini selalu
memisahkan diri dari massa dan dengan demikian tidak akan memimpin massa untuk
lebih maju ke depan. Pandangan sectarian menghindari basis dukungan massa luas
dan kita cenderung gagal merengkuh massa secara luas, karena lebih
mengedepankan gerombolan kecil dari diri kita, sektoralisme, dan anti terhadap
gerakan mayor di luar kita.
c.
Komandoisme,
suatu sikap seseorang atau pimpinan dalam organisasi yang menyerukan suatu
pandangan atau perintah terhadap anggota tidak sesuai dengan kondisi
objektifnya. Mereka cenderung bersikap main perintah tanpa berdasarkan
investigasi sosial dan analisis suatu keadaan di bawahnya. Komandoisme sebagai
bagian dari subjektifisme yang merupakan penyakit dikarenakan
seseorang/pimpinan tidak memahami secara objektif kondisi massa, tidak memahami
perasaan massa, dan tidak mampu menyimpulkan apa yang diaspirasikan oleh massa.
Pada akhirnya seringkali dari diri kita menghasilkan keputusan-keputusan secara
organisasional yang sifatnya subjektif yang lahir dari ego segelintir pimpinan
saja.
d.
Buntutisme
(patron), sikap ini adalah sikap yang terlampau mengekor pada massa tanpa bersandar
pada prinsip kepemimpinan yang tepat. Kita cenderung menunggu sikap apa yang
akan diambil oleh massa secara spontan lalu kita ikuti secara menyeluruh. Sikap
ini tidak menghendaki upaya untuk mengarahkan massa pada sesuatu yang benar,
cenderung membiarkan hal yang salah meskipun itu kehendak massa mayoritas.
Fenomena ini menghancurkan sikap kepemimpinan itu sendiri. Dan tidak akan
membawa perubahan yang lebih maju dari gerakan massa.
e.
Birokratisisme,
penyakit ini adalah praktek sikap berdiri di luar, di atas basis massa,
oleh karena posisi jabatan tertentu di dalam organisasi. Corak organisasi yang
mengidap birokratisisme adalah ia cenderung elitis. Jalannya organisasi dalam
berpraktek dibatasi oleh pagar-pagar hirarkis, hal ini biasanya bertumpu
orientasi dan tujuan organisasi ke depan hanya untuk kepentingan
individu/pemimpin. Corak birokratisisme lahir dari pola pengorganisasian
borjuasi di dalam suatu negara atau perusahaan.
Dari serangkaian
penyakit-penyakit yang harus kita hindari dan kita perangi, maka dapat kita
simpulkan bahwa penyakit subjektifisme ada di tiga lapangan utama, yaitu
ideologi, politik, dan organisasi. Mengapa kiranya kita penting belajar hal
ini? pada akhirnya untuk bisa menghindari suatu pandangan dan tindakan yang
dapat merugikan kita sebagai individu, organisasi, dan perjuangan massa.
Kadangkala kita tidak akan
menyadari penyakit kita tersebut, jika kita tidak meneguhkan diri pada kolektif
dan cenderung mengedepankan unsur-unsur egoisme individual. Tidak ingin
munafik, bahwa penulis pun seringkali mengalami penyakit subjektifisme ini.
Dengan segala kerendahan hati kita mesti mengakui kesalahan-kesalahan diri kita
dan memecahkan persoalan tersebut sekeras mungkin. Apalagi tidak dapat
dipungkiri, latar belakang kita sebagai mahasiswa yang berwatak borjuis kecil.
Kita sering didominasi oleh pikiran-pikiran borjuasi kecil, watak-watak inilah
yang dapat menghancurkan gerakan massa. Manifestasi dari watak ini biasanya seperti
pikiran heroisme, mengejar kesenangan, sikap suka dipuja, dan bersikap
berdasarkan sentimen, kesemuanya itu tidak jarang tumbuh di lingkup aktivis.
Dengan demikian, sebagai seorang
aktivis massa kita harus mengubah watak borjuasi kita agar tidak merugikan
gerakan massa. Caranya adalah dengan banyak membaca buku-buku dengan teori yang
maju, menyeburkan diri dalam gerakan massa dan selalu berada di tengah-tengah
massa, belajar dari massa dan menggunakan jalan massa, mengedepankan segala hal
yang objektif tapi juga turut menyertakan aspek subjek sebagai tenaga pendorong
kekuatan perubahan, serta mengintensifkan pendidikan dan propaganda terhadap
massa dan banyak memberi kesempatan pada massa dan anggota untuk mengutarakan
pendapatnya.
Lalu yang terakhir, untuk bisa
menghancurkan kontradiksi di internal yang dihinggapi oleh kentalnya
subjektifisme, kita mesti melakukan kritik oto kritik yang berdasarkan pada
simpulan pengalaman praktek di bidang politik dan organisasi. Jika kita lihat
secara ideal, memang semua sintesis dalam menangkal subjektifisme itu seperti
hal yang mudah kita ucap, tapi implementasinya terkadang sulit kita jalankan.
Oleh karenanya, sebisa mungkin, sekeras mungkin, kita harus menempa diri kita
lebih hebat lagi untuk menunjukkan keseriusan kita dalam perjuangan dan organisasi. Karena perubahan
sejatinya tidak tercipta dari hasil gerakan yang setengah-setengah, melainkan
perubahan dapat tercipta dari perjalanan panjang suatu perjuangan, yang itu
semua hasil dari akumulasi keseriusan kita dalam berpraktek dan belajar.
Setahap demi setahap kita harus berani memulai. Karena sejatinya massa
menanti-nantikan kita untuk dapat maju bersama. Bila kita dirasa masih kecil,
mulailah dari apa yang kita bisa, dan terus kembangkan diri kita menjadi lebih
besar dan berpengaruh pada perjuangan. Bila kita merasa selalu gagal dan
pesimis melihat keadaan, coba lagi, terus-menerus perbaiki praktek kita dan
jangan pernah atah arang!! Karena perjuangan sejatinya tidak akan pernah
dihadapkan pada jalan yang lurus, kita akan selalu dihadapkan oleh jalan yang
berliku, dan dihadang oleh kerasnya batu karang.
Tetap semangatlah kawan, dan
tidak lupa tetap saling mengevaluasi di antara diri kita, sehingga tercipta iklim
yang baik untuk perjuangan massa ke depan..
Hidup Mahasiswa !!
Jayalah Perjuangan
Massa !!
*Mochammad Vichi
Fadhli Rachman, Ketua Front Mahasiswa Nasional (FMN) Ranting UPI
Sumber Rujukan :
Prabowo, H. Sejarah Filsafat Menuju Materialisme Dialektika. Hal. 207-213.
Baca materi pendidikan pimpinan
FMN, Tentang Aktivis Massa. Membaca
tentang penyakit borjuis kecil dan cara menghindarkannya.
Komentar
Posting Komentar