Langsung ke konten utama

Menyongsong Nasib (UU) Pendidikan Tinggi

Oleh : Moch. Vichi Fadhli R


Pendidikan kini menjadi harapan masyarakat dalam memajukan nasib penghidupan yang lebih baik.Tentu negara harus memiliki tanggung jawab yang serius dalam menjamin warga negaranya agar tercerdaskan dan dapat memperoleh akses pendidikan yang luas, baik pada pendidikan dasar, menengah , maupun pendidikan tinggi.
Namun ekspektasi untuk menciptakan bangsa dan masyarakat yang cerdas dalam membangun tatanan peradaban masyarakat yang maju baik secara ekonomi, politik, dan kebudayaan, sampai saat ini belum bisa terwujud. Kenyataan pendidikan di Indonesia hari ini masih jauh dari harapan dan kepentingan rakyat. Pendidikan saat ini lebih diorientasikan pada kepentingan pasar semata dan tidak pernah terbukti mampu menjawab persoalan rakyat.
Sejak disahkannya Undang-undang Pendidikan Tinggi (UU PT) pada 13 Juli 2012 lalu, sangat terang bahwa pemerintah sangat memaksakan pemberlakuan suatu UU yang dapat mempermulus jalannya dalam skema liberalisasi, privatisasi, dan komersialisasi di ruang pendidikan.
Dalam situasi penghidupan rakyat yang terus merosot akibat pelimpahan krisis ekonomi di Amerika Serikat dan Uni-Eropa sebagai jantung perekonomian dunia, secara tidak langsung Indonesia mendapat dampaknya sebagai negara berkembang. Sehingga kebijakan dan regulasi yang dibuat oleh pemerintah Indonesia tidak pernah terlepas juga dari intervensi asing dalam upaya memulihkan kepentingan ekonomi dan politik neo-liberal. Melalui UU PT, pemerintah terus melepaskan tanggung jawabnya terhadap pendidikan atas nama otonomi dan peningkatan mutu pendidikan.
Secara umum, saat ini UU PT hanya berganti wajah dari Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK) Tahun 2010, yang kedudukan dan paradigma pendidikannya dalam UU BHP bertentangan dengan UUD 1945. Dengan kemasannya yang baru (UU PT), paradigmanya tetaplah sama seperti BHP. Sistem managerial keuangan yang memisahkan kekayaan institusi pendidikan dengan kekayaan negara tampaklah sangat jelas. Hal ini merupakan bukti dari semakin jauhnya campur tangan negara dalam pemenuhan hak atas pendidikan tinggi (progressive realization).
Beberapa kesamaan antara BHP dan UU PT tersebut sebagai gambaran singkat upaya pemerintah untuk tetap mempertahankan skemanya atas liberalisasi, privatisasi dan komersialisasi, dengan memberlakukan kembali UU yang berasaskan sama, khususnya semangat pengelolaan pendidikan tinggi dengan cara tata kelola korporasi serta menempatkan modal sebagai faktor utama keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan tinggi, dengan mengatasnamakan “otonomi palsu” sebagai landasan filosofisnya.
Dampak logis
UU PT telah hadir sebagai paket pesanan dari kebijakan globalisasi di ruang pendidikan, manifestasi dari SAP’s (structural adjustment programs), yaitu kebijakan neo-liberal yang diprakarsai untuk mendominasi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Dengan berbagai skema dan orientasi tersebut, kianlah terang dampak logisnya. Pertama, semakin melambungnya biaya Pendidikan Tinggi. PT terus diarahkan untuk menyelenggarakan pendidikan secara mandiri, sementara pemerintah hanya mengalokasikan 2,5% dari anggaran fungsi pendidikan untuk dana operasional bagi PT Negeri dan PT Swasta.
Dalam hubungan langsung fungsional dari UU PT, pemerintah menjalankan skema pembayaran dengan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) di seluruh PT Negeri. Yang bertujuan untuk menghilangkan varian biaya yang berpotensi melahirkan pungutan-pungutan liar di luar biaya wajib bagi mahasiswa. Pada kenyataannya UKT tidak menghapus varian biaya tersebut tapi menggabungkannya ke dalam satu alur.  Justru biaya untuk pendidikan tetap naik, ini telah diterapkan di kampus-kampus yang telah menggunakan sistem UKT (UNTAD-Palu, UNSOED Purwokerto, UGM Yogyakarta).
Kedua, pendidikan hanya diorientasikan pada kebutuhan pasar. Dalam UU PT pun turut masuk manifestasi dari skema kapitalistik melalui program fleksibilitas pasar tenaga kerja (labour market flexibellity-LMF) yang diwujudkan dalam (Pasal 69 Ayat 2) dan (Pasal 65 Ayat 1-3). Pada intinya mengandung muatan ketidakpastian hukum bagi pendidik dan tenaga kependidikan yang akan secara terang menempatkan dosen dan tenaga pendidik pada jurang sistem kerja kontrak dan outsourcing. Selain itu, mahasiswa pun terus digiring menjadi objek pasar atas dalih praktikum dan serangkaian training yang dihadirkan di dalam pembelajaran. Mahasiswa dipekerjakan di perusahaan-perusahaan swasta dengan upah yang murah, bahkan tidak sama sekali.
Ketiga, semakin sempitnya akses rakyat terhadap pendidikan. Fakta bahwa dari 25 juta jiwa pemuda Indonesia yang berusia 19-24 (Usia kuliah), sangat ironi pada realitanya yang terserap dalam PT hanya 4,6 juta jiwa saja. Sementara angka itu terus berkurang dengan angka putus kuliah (drop out) yang mencapai 150 ribu orang setiap tahun.
Keempat, semakin hilangnya demokratisasi dalam kehidupan kampus. Perampasan hak demokratis mahasiswa maupun civitas akademik lainnya akan semakin nyata, dimana akan semakin hilangnya kebebasan berorganisasi, mengeluarkan pendapat, kebebasan akademik ataupun untuk menjalankan aktfitas politik dan kebudayaan lainnya didalam kampus. Hal tersebut diatur dalam UU PT pasal 76 tentang organisasi kemahasiswaan dan  pasal 76 Ayat 3 tentang “dikotomi” organisasi kemahasiswaan “Intra dan Ekstra”.
            Lalu dalam upaya menjawab seklumit persoalan Pendidikan Tinggi yang semakin mahal dan merosotnya partisipasi rakyat, sejatinya masyarakat mesti membangun kembali orientasi pendidikan yang memiliki arah dan tujuan untuk memajukan penghidupan rakyat. Agar seluruh lapisan rakyat Indonesia dapat meraih ilmu dalam upaya memajukan taraf berpikir dan kebudayaan bangsa. Sehingga bangsa memiliki kehormatannya dan dapat memerdekakan anak cucunya sendiri tanpa harus membebek pada kuasa asing yang menempatkan modal sebagai faktor utama dalam pengelolaan pendidikan. Selamatkan pendidikan Indonesia!!




Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Kunci Rahasia Meningkatkan Omset Penjualan bagi Sales Kanvas

  Sejauh ini, banyak sales yang masih terkendala oleh hasil penjualannya karena tidak mencapai target.   Kalau di daerah yang kita kerjakan sama sekali mengalami fase stuck dan tidak berkembang. Maka kita harus cek atau periksa hal apa yang bikin hasil dari penjualan kita stagnan. Kalau kita sudah tau masalahnya, lalu kita bisa menciptakan solusi tersebut dari masalah yang kita miliki. Jika pencapaian omset diukur dari minggu ke minggu, Berikut ini kunci rahasia   omset penjualan agar meningkat :   1.  Bekerja berbasiskan data Banyak dari kita atau sebagai sales yang meremehkan data. Padahal data adalah faktor kunci kita dalam bekerja. Sayangnya banyak di antara kita yang berfokus pada aktivitas lapangan tapi lemah dalam soal data. Dapat dikatakan bekerja terkait data erat kaitannya dengan tim administrasi atau supervisor, karena hanya mereka yang memiliki keleluasaan dalam mengakses data. Padahal bagi seorang sales, jika bekerja berdasarkan data maka seorang sales di lapangan da

Skema Pemberangusan Demokrasi Kampus

Menyikapi Peraturan Disiplin Mahasiswa UPI 2013 Oleh : Moch. Vichi Fadhli R             Pemuda dan mahasiswa semakin dihadapkan pada ketidakpastian arah dan cenderung terjerambab dalam jurang semu dunia pendidikan kekinian. Hal ini semakin tampak, dalam melihati situasi nasional yang begitu bergejolak, dengan upaya liberalisasi di tubuh pendidikan yang pada akhirnya berimbas pada melonjaknya biaya pendidikan, komersialisasi pendidikan, hilangnya akses rakyat untuk mengenyam Pendidikan Tinggi (PT), juga diskriminasi terhadap rakyat dalam mengakes bangku pendidikan.             Dalam hal ini tentunya secara alamiah akan menumbuhkan gejolak protes masyarakat lewat berbagai aksi karena abainya pemerintah dalam melakukan pencerdasan terhadap seluruh rakyat Indonesia. Khususnya pemuda dan mahasiswa sebagai warga kampus yang turut secara langsung merasakan mahalnya harga kuliah sehingga akan timbul secara sendirinya gejolak massa dalam berekspresi, juga berpendapat dalam berbagai

Masa Depan Manusia VS AI

Oleh : Moch. Vichi Fadhli   Pada sekitar tahun 1950-an, sekumpulan ilmuwan melakukan eksperimen pada sekumpulan Kera di pulau Kojima. Beberapa ilmuwan tersebut menyimpan kentang manis di pasir pantai untuk makanan Kera. Suatu hari, seekor Kera Muda bernama Imo secara sengaja mempelajari cara bahwa Kentang akan terasa lebih enak jika dicuci lebih dahulu. Imo mulai mengajari kepada teman-temannya dan anggota keluarga yang lebih tua untuk membersihkan makanan agar makanan terasa lebih enak. Perubahan perilaku kelompok Kera tersebut mulai perlahan-lahan nampak. Akhirnya sebagian besar Kera mengadopsi cara tersebut dan kebiasaan tersebut menjadi sebuah ‘Norma Baru’ dalam sekelompok Kera. Fenomena ini dikenal sebagai efek Kera ke-100 sebagai bentuk perubahan perilaku. Fenomena ini menekankan tentang arti penting sebuah perubahan perilaku. Dalam diskursus marketing banyak kita temukan tentang perubahan Consumer Behavior . Perubahan juga didorong oleh penemuan-penemuan baru dalam ruang l