Oleh : Moch Vichi Fadhli
Keterikatan
remaja pada gaya hidup terkini membawa suatu masalah tersendiri. Karena masalah
itu sendiri lahir dari kebudayaan pop barat yang menyuguhkan nuansa
kegemerlapan. Tetapi kita tidak mampu menyaring westernisasi yang khususnya
menyerang remaja kontemporer. Di sinilah nilai dan faham selalu menjurus pada
gengsi dan gaya hidup.
Sangat
memprihatinkan bila pada akhirnya remaja terjatuh pada lubang gengsi yang
tinggi. Karena mereka akan selalu patuh pada penindasan gaya hidup glamour. Dan
realita yang sering didapati ada pada anak sekolahan. Contoh, mereka yang tidak
update pada gaya hidupnya selalu
dimarjinalkan oleh temannya. Dan apakah ini harus selalu dibiarkan terus
menerus dan membudaya?
Ini
adalah suatu penindasan terselubung yang dibangun oleh kaum remaja. Mereka yang
menghambakan kemewahan, kemapanan, dan pergaulan elit akan menstratifikasikan
masyarakat pada kelompok bergaul. Sehingga arus hedonisme yang dibangun akan
memenjarakan golongan ekonomi rendah. Kenyataan ini menggambarkan sikap
antipati terhadap rakyat miskin. Padahal selama ini mereka yang termarjinalkan
membutuhkan tempat sejajar untuk mengenyam suatu kebebasan. Seperti yang
diucapkan oleh tokoh pergerakan Paulo
Freire,” tujuan utama manusia adalah
humanisasi melalui proses pembebasan”.
Masalah
memang terus meluas di dunia generasi muda saat ini. Kebudayaan pragmatis akan
mementahkan kita dalam berpikir kritis. Siswa-siswa di sekolah terkadang hanya
memikirkan hidup senang, gengsi terjaga, dan cepat menyelesaikan studinya.
Tetapi tidak memikirkan kualitas hidup untuk mematangkan nalar dan sikap
menghadapi segala tantangan di hadapan mereka.
Penulis
menyimpulkan kondisi mental dan jiwa pragmatis remaja disebabkan oleh 4 hal. Pertama, suatu sistem telah menindas
naluri berpikir maju. Seperti kita ambil pada praktik dunia persekolahan.
Kuatnya suatu sistem belajar dengan segala aturan yang diterapkan di sekolah
menutupi ruang gerak peserta didik untuk mengembangkan kreativitas. Kebebasan
mereka akan terpasung oleh suatu sistem. Karena mereka akan bekerja layaknya
sebuah mesin.
Kedua,
kualitas dan mutu pendidikan nasional
yang rendah. Hal ini akan dibarengi krisis moralitas yang akan menghambat
proses reformasi pendidikan kita saat ini. Cita-cita untuk mencapai generasi
penerus bangsa yang cakap pun makin jauh dari kenyataan. Dan apa yang
sebenarnya mesti kita bangun dan rubah adalah dari metodologi pembelajaran.
Dengan konsep pembelajaran yang melatih siswa untuk membangkitkan nalar kritis
dan aktif berkreasi adalah salah satu poin pendidikan progresif.
Ketiga,
minat baca kaum muda yang rendah. Buku adalah jendela dunia yang menumbuhkan cakrawala
berpikir. Wawasan akan terus terisi sehingga akan menjadi amunisi kekuatan kita
dalam berpraktik. Pada kenyataannya kurang dari 10 persen saja remaja yang
minat bacanya tinggi. Di sekolah, siswa lebih banyak memakai waktu istirahat di
tempat-tempat keramaian, seperti di kantin dan taman. Sedangkan di perpustakaan
sebagai gudang ilmu jarang dikunjungi dan membisu bagai di kuburan.
Keempat,
media televisi memberikan pengaruh gaya hidup hedonis. Seperti yang dikatakan Mc
Luhan bahwa ”media massa adalah
perpanjangan dari alat indera manusia”
Banyak
acara televisi yang menyuguhkan nuansa glamour, meriah, dan memandang rendah kaum
miskin. Banyak sinetron menceritakan kisah hidup menindas kaum lemah. Dan industri
periklanan yang merancang para penonton secara halus untuk hidup konsumtif.
Sehingga dari semua itu akan menjauhkan kita
dari jiwa sosial.
Sejatinya,
remaja adalah suatu kekuatan bangsa untuk memberikan andil bagi pergerakan
kemajuan bangsa ini. Pola pikir yang harus dibangun adalah jiwa
kritis-progresif. Dengan membangun kesadaran subjek individu melalui
pendidikan. Pendidikan yang diterapkan tidak hanya di ruang formal. Tetapi
dengan membentuk ruang kerja kolektif yang mengedepankan nuansa berpikir maju.
Komentar
Posting Komentar