Langsung ke konten utama

Mengkaji Efektivitas PR Dalam Dunia Pendidikan



Hai sekolah. Begitu megahlah namamu di hadapan jutaan murid yang terlunta-lunta mengais pembelajaran dalam naunganmu. Namun kini saya mencoba untuk menilik fenomena yang terjadi di sekolah yang sudah menjadi kewajiban sehari-hari, yaitu tugas pekerjaan rumah (PR) yang masih dianggap sebagai alat atau media yang efektif untuk membelajarkan siswa dan meningkatkan prestasi tinggi.
          Sebagian dari kita merasa terbebani oleh tumpukan tugas dan PR dari para guru guna merengkuh nilai di tangan guru dan menghindari sanksi-sanksi yang diberikannya. Karena saya pun mengalami hal seperti ini. Apakah kalian selaku peserta didik ingin terus dicekoki oleh tumpukan PR yang berlimpah dari guru? Lalu, coba kita jauh berpikir apakah kita telah mendapatkan manfaat yang terasa real dalam mengerjakan PR bagi kita selaku siswa?
          Tiap sekolah di seluruh penjuru Negara memiliki metodologi yang berbeda dalam pembelajaran. Terkait soal PR, khususnya di Negara kita sebagian guru masih berpendapat bahwa dengan memberikan PR siswa dapat lebih mendalami lagi atas materi yang telah diberikan di sekolah. Anggapan yang keluar dengan memberikan PR, siswa dapat terlatih atas soal-soal yang harus dikerjakan dan dapat meningkatkan prestasi anak di sekolah.
          Namun sebagian guru beranggapan kontradiktif, dimana PR yang banyak justru tidak akan membuat prestasi siswa lebih baik tetapi jika kita lihat pada sisi psikologis, anak akan merasa stres dan tertekan dengan hantaman-hantaman combonya yang sepertinya menyaingi power pukulan Mike Tyson. Wah , kalau seperti itu berarti begitu kerasnya dentaman yang diluncurkan kepada siswa itu, bukan kepada fisik, tetapi kepada jiwanya.
          Sekarang mari kita mencoba menilai sama-sama tingkat efektivitas PR pada siswa, jika memang berpengaruh besar pada prestasi tak ada salahnya PR diberikan oleh seorang guru. Tetapi nyatanya, siswa kini cenderung mengerjakan PR dari hasil mencontek teman sekelasnya agar cepat dan praktis sehingga keluar dari jerat tuntutan guru. Dari sini jelaslah bahwa PR bukan mesin penyemangat siswa yang dapat meningkatkan daya jelajah anak dalam belajar selaku peserta didik. Tetapi PR adalah mesin penekan siswa yang bersifat represif (menindas).
          Menurut hasil penelitian, yang terlansir dari buku The Case Against Homework, dan hasil review dari Prof Cooper ternyata diperoleh data bahwa hampir tidak ada korelasi antara jumlah PR dan prestasi akademik di sekolah. Jika PR yang diberikan terlalu banyak, di sekolah menengah, justru akan kontra-produktif.
          Menurut David Baker, seorang profesor pendidikan, Negara-negara yang terkenal dengan pendidik yang memberikan PR banyak, seperti Yunani, Thailand, dan Iran, ternyata prestasi akademik mereka justru sangat buruk. Sebaliknya Negara-negara seperti Jepang, Denmark, dan Republik Ceko, yang murid-muridnya menempati peringkat tertinggi prestasi akademik  dalam skala dunia, ternyata guru-guru di Negara ini memberikan sangat sedikit PR.
          Oleh karena itu selain dari kita selaku peserta didik, gurupun nyatanya patut untuk mengkaji proses diberikannya PR kepada setiap murid. Kita selaku murid pun harus bisa lebih meningkatkan nalar kritis kita terhadap suatu persoalan. Dan juga guru pun tidak boleh mengacuhkan keluhan yang diberikan oleh siswa. Guru seharusnya mampu menangkap situasi objektif yang diperoleh para muridnya.
          Ini adalah suatu catatan saya, selaku yang juga mengalami kerasnya hidup sebagai murid yang harus patuh pada aturan, tetapi tidak mampu mengkritisi apa arti semua dari aturan itu. Dari sini yang saya dapat, bagi saya PR harus sesuai dengan kebutuhan siswa, perlu diperhatikan intensitas, kualitas, dan kuantitas dari PR tersebut.



Moch. Vichi Fadhli Rachman

SMAN 25. 12 IPS 3 2009-2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tiktok Shop vs Pasar Konvensional

Oleh : Moch Vichi Fadhli R. S.Pd., M.M.   Pasar Tanah Abang dan beberapa toko pakaian tradisional mulai sepi. Banyak para pedagang gulung tikar dan merasa dirugikan karena kehadiran platform social-commerce dan perang harga yang tidak sesuai dengan logika pasar. Lalu, pemerintah tengah ramai ditekan agar membuat kebijakan khusus untuk menutup platform Tiktok sebagai media ekonomi yang menghancurkan UMKM tradisional. Fenomena ini sebenarnya terjadi karena adanya gap antara attitude dan behavior , Carrington (2016) pernah meneliti persoalan ini secara kritis. Krisis ini terjadi ketika pasar sendiri yang menciptakan gap di antara pilihan cara berkonsumsi secara individualis dan ketersediaan pasar secara sistemik. Hal yang mendasari tersebut adalah bagian dari kontradiksi kapitalisme yang tidak pernah bisa berhenti menciptakan hasrat tak terpuaskan dan ekses konsumsi. Dari pernyataan ini muncul ketidaksesuaian antara hasrat dan perbuatan. Ketidaksiapan masyarakat dalam mengkonsumsi m

5 Kunci Rahasia Meningkatkan Omset Penjualan bagi Sales Kanvas

  Sejauh ini, banyak sales yang masih terkendala oleh hasil penjualannya karena tidak mencapai target.   Kalau di daerah yang kita kerjakan sama sekali mengalami fase stuck dan tidak berkembang. Maka kita harus cek atau periksa hal apa yang bikin hasil dari penjualan kita stagnan. Kalau kita sudah tau masalahnya, lalu kita bisa menciptakan solusi tersebut dari masalah yang kita miliki. Jika pencapaian omset diukur dari minggu ke minggu, Berikut ini kunci rahasia   omset penjualan agar meningkat :   1.  Bekerja berbasiskan data Banyak dari kita atau sebagai sales yang meremehkan data. Padahal data adalah faktor kunci kita dalam bekerja. Sayangnya banyak di antara kita yang berfokus pada aktivitas lapangan tapi lemah dalam soal data. Dapat dikatakan bekerja terkait data erat kaitannya dengan tim administrasi atau supervisor, karena hanya mereka yang memiliki keleluasaan dalam mengakses data. Padahal bagi seorang sales, jika bekerja berdasarkan data maka seorang sales di lapangan da

Skema Pemberangusan Demokrasi Kampus

Menyikapi Peraturan Disiplin Mahasiswa UPI 2013 Oleh : Moch. Vichi Fadhli R             Pemuda dan mahasiswa semakin dihadapkan pada ketidakpastian arah dan cenderung terjerambab dalam jurang semu dunia pendidikan kekinian. Hal ini semakin tampak, dalam melihati situasi nasional yang begitu bergejolak, dengan upaya liberalisasi di tubuh pendidikan yang pada akhirnya berimbas pada melonjaknya biaya pendidikan, komersialisasi pendidikan, hilangnya akses rakyat untuk mengenyam Pendidikan Tinggi (PT), juga diskriminasi terhadap rakyat dalam mengakes bangku pendidikan.             Dalam hal ini tentunya secara alamiah akan menumbuhkan gejolak protes masyarakat lewat berbagai aksi karena abainya pemerintah dalam melakukan pencerdasan terhadap seluruh rakyat Indonesia. Khususnya pemuda dan mahasiswa sebagai warga kampus yang turut secara langsung merasakan mahalnya harga kuliah sehingga akan timbul secara sendirinya gejolak massa dalam berekspresi, juga berpendapat dalam berbagai